Rabu, 16 Juni 2010

wajah moderenisme

Sejak beberapa dekade belakangan dan bahkan hingga kini, banyak kalangan berbicara tentang krisis global yang melanda hampir semua dimensi kehidupan manusia: mulai dari ancaman bom atom, penipisan lapisan ozon, polusi air, udara dan krisis ekologis lainnya, krisis ekonomi, moral, hingga krisis makna akibat hampanya spiritualitas. Dari berbagai penyelidikan atas asal-usul krisis multidimensi tersebut terungkap bahwa akar persoalannya terletak pada penekanan berlebihan dalam peradaban modern pada cogito Cartesian. Yang menjadi sorotan kritik terhadap cogito ini adalah kecenderungan dualisme dan metode analisisnya yang melahirkan pandangan mekanistik tentang alam semesta material.
Dualisme Cartesian dan Revolusi Ilmiah
Dualisme Cartesian muncul sebagai konsekuensi logis dari rumusan filosofis Cogito ergo sum (‘aku berpikir, maka aku ada’) yang dipandang Descartes sebagai suatu model kebenaran pasti seperti dicita-citakan metode keraguan universalnya. Segala sesuatu, termasuk tubuh sendiri, menurut metode ini, dapat diragukan kebenaran keberadaannya, tetapi kesadaran (aktivitas berpikir) akan ‘praktek meragukan’ itu sendiri merupakan hal yang tidak dapat disangkal keberadaannya, sehingga ia (kesadaran) dengan sendirinya merupakan bukti (self-evident) bagi keberadaan aku yang sadar (berpikir). Cogito ergo sum adalah suatu kebenaran sebab pernyataan tersebut merupakan hal yang jelas dan terpilah (distinctly). Konsepsi kita tentang sesuatu, menurut Dsescartes, adalah benar apabila konsep tersebut jelas dan terpilah-pilah.”
Rumusan cogito ergo sum membedakan dan memprioritaskan pikiran ketimbang tubuh dan hal-hal lain yang bersifat material. Dan, disinilah tepatnya letak dualisme Cartesian itu: pikiran-materi atau subjek objek, dst. Pengukuhan ekistensi kesadaran cogito dan pemprioritasannya di atas realitas ekternal ini menggambarkan tendensi ego subjektivisme-rasionalistik Descartes.
Ada beberapa peristiwa yang melatar-belakangi pemikiran filosofis Descartes. Pertama, iklim otoritas Greja. Kedua, muncul penemuan-penemuan ilmiah—seperti penemuan bulan-bulan di Jupiter oleh Galileo—yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang sejauh mana apa yang nampak kepada indra manusia bisa dipercaya, sejauhmana kita mampu mengetahui dunia, apa metode yang bisa gunakan untuk menguji dan memperluas pengetahuan. Penemuan-penemuan ilmiah juga memunculkan kembali persoalan lama tentang lebih dapat-dipercayainya akal ketimbang indra, serta pertanyaan-pertanyaan baru tentang berapa banyak kini yang dapat kita ketahui. Ketiga, kericuhan religius yang terus berlangsung di Eropa.
Greja saat itu memegang otoritas yang harus ditaati oleh umatnya, termasuk dalam hal pengetahuan. Namun, pada kenyataannya, tidak sedikit temuan ilmiah yang bertentangan dengan apa yang diyakini Greja. Dalam bidang astronomi, misalnya, Greja memegang rumusan astronomi geosentris Ptolomaeus, yang ditentang oleh rumusan tatasurya heliosentris Covernicus. Munculnya, penemuan-penemuan seperti ini tentu saja menyulut kegusaran pihak-pihak Greja dan ketegangan antara mereka dan para ilmuan pun takterelakan. Suasana seperti inilah nampaknya yang telah mendorong Descartes untuk memikirkan ulang suatu basis metode yang kokoh yang memungkinkan pengetahuan yang benar tentang realitas. Dan, cogito ergo sum dipandang Descaters sebagai basis untuk dimungkinkannya pengetahuan itu.
Secara ringkas cogito ergo sum¬ Descartes nampaknya hendak mengatakan bahwa di saat segala sesuatu dapat disangsikan kebenarannya, atau disaat segala sesuatu tidak bisa dipercaya karena selalu masih menyisakan pontensi untuk disangsikan, maka kita harus kembali merujuk pada kesadaran subjektivitas-rasionalistik diri kita, sebagai satu-satunya “instansi” yang tidak teragukan kredibitasnya. Dalam cogito (pikiran)lah, Descartes nampaknya menaruh banyak harapan untuk menemukan kepastian; untuk menemukan kepastian kita harus meragukan terlebih dahulu segala hal—termasuk yang kita terima begitu saja sebagai kebenaran—dan kemudian kembali kepada kesadaran kritis kita untuk memikirkan kemabali apa yang kita ragukan.
Dalam konteks filsafat modernisme, dualisme subjek-objek Descartes menjadi dasar upaya epistemologis untuk mencari pengetahuan tentang “apa”nya realitas yang berada diluar pikiran (subjek) dengan cara kembali kepada subjek, yakni dengan cara mengorganisasikan gagasan-gagasan berdasarkan hukum-hukum logika sehingga diperoleh representasi yang benar atau “objektif” tentang realitas. Subjek bertugas merepresentasikan kenyataan objektif, dan filsafat bertugas mencari landasan (fondasi) segala pengetahuan. Kecenderungan modernisme untuk mencari-cari fondasi bagi pengetahuan “objektif” melalui representasi mental subjek dilabeli sebutan fondasionalisme dan representasionalisme. Pelabelan ini merupakan gambaran wajah modernisme yang merentang sejak Descartes hingga filsafat analitik pada abad ke-20.
Rene Descartes (1595-1650) adalah seorang filsuf; tetapi ia juga adalah seorang ahli matematika. Kerangka pemikiran dualisme (rasionalis-materialis)nya ia kaitakan dengan bidang studi matematika yang digelutinya. Dari proses pengkaitan inilah ia akhirnya berani mengatakan sebuah kesimpulan yang sangat mendasar bagi perkembangan sains modern, yakni bahwa melalui matematika seseorang mampu meraih suatu pemahaman yang sempurna tentang alam semesta. Ini karena, bagi Descartes, seluruh alam semesta pada dasarnya adalah suatu mekanisme yang diatur oleh hukum matematis. Jadi, jika hukum-hukum matematika itu sudah bisa ditemukan, maka seluruh dunia material bisa diketahui dan dipahami.
Barang kali, keterukuran dan keterkuantifikasian ilmiah yang matematis inilah yang kemudian menjadi kriteria objektivitas pengetahuan seperti dicita-citakan Descartes. Dan, ini barang kali yang diacu D.W. Hamlyn ketika mengatakan bahwa sains memiliki pengaruh terhadap filsafat, sebagaimana filsafat Cartesian berpengaruh terhadap perkembangan sains dan intelektual kontemporer.
Pandangan Descartes di atas nampaknya juga telah dimulai oleh tokoh pendahu-lunya, Galileo Galilei (1564-1642), yang percaya bahwa “filsafat ditulis dalam buku besar yang terhampar di depan mata kita; tetapi kita tidak dapat memahaminya jika kita tidak terlebih dahulu mempelajari bahasa dan huruf yang dipakainya. Bahasa itu adalah bahasa matematika, dan huruf-hurufnya adalah segitiga, lingkaran, dan bentuk-bentuk geometris lainnya.” Bagi Galelio, matematika merupakan kunci metode saintifik satu-satunya yang dapat menghantarkan pada pengetahuan yang valid tentang dunia ini. Pengetahuan sejati menurutnya haruslah pengetahuan yang bisa diukur dan dipahami secara matematis.
Bahkan, selain Galelio, tokoh sezamannya, Francis Bacon (1561-1626), mempelopori metode induktik. Ia mengajukan eksperimen sebagai metode saintifik yang dipercayainya dapat mampu mengatasi pengalaman-pengalaman biasa. Usulan Bacon ini nampaknya berkaitan dengan ketidak-percayaannya terhadap pengalaman-pengalaman indrawi yang pencerapannya tentang realitas yang tidak selalu dapat dipercaya, dan dengan kritiknya terhadap opini-opini dan dugaan-dugaan warisan leluhur yang tidak dipertanyakan lagi. Sikap konservativisme semacam ini, menurutnya, dapat membuat masyarakat sulit meninggalkan kepercayaan-kepercayaan yang mapan namun keliru, dan tentu saja sikap seperti ini dapat merintangi penelitian ilmiah yang benar.
Cara pandang beberapa tokoh tetang alam semesta seperti ini dipandang sebagai beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pada masa yang disebut Renaisans dan Aufklarung itu (kekitar tahun 1500-an) telah terjadi revolusi ilmu pengetahuan alam (sainstifik). Ini adalah sebuah revolusi yang telah dibangkitkan oleh berbagai penemuan dan beberapa bidang pengetahuan seperti astronomi, yang semakin menggeser pandangan astronimis gereja Abad Pertengahan. Menurut dugaan banyak ahli, revolusi ilmu pengetahuan alam inilah yang menjadi perintis bagi perkembangan pemikiran modern yang kita kenal sangat saintifik.
Berdasarkan studi tentang perkembangan pemikiran dan kultur masyarakat manusia, banyak ahli menarik kesimpulan bahwa secara historis, gerakan kemodernan pertama kali hadir secara eksplisit pada masa Renaisans dan Aufklarung (Pencerahan) dan dalam konteks dunia Barat Kristen itu. Salah satu pilar utama gerakan kemodernan adalah kerangka konseptual yang disebut sebagai filsafat materialis. Kemunculan tren filsafat ini sekaligus menandai berakhirnya pola pemikiran Abad-abad Pertengahan yang sangat idelistik dan spiritual, sebagaimana terjelma dalam dogma Greja yang sangat berpengaruh hingga saat itu.
Rasionalisme Reduksionistik
Descartes adalah seorang matematikawan yang benar-benar berhasil menghubungkan aljabar dengan geometri, sehingga menjadi suatu cabang tunggal baru matematika yang disebut geometri analitik. Dan dengan melakukan itu, Descartes memungkinkan kemajuan besar dalam bidang Fisika.
Sumbangan terbesar Descartes pada dunia ilmu barangkali adalah metode analitiknya. Metode ini menjadi karakteristik penting fikiran ilmiah modern dan terbukti sangat bermanfaat dalam perkembangan teori-teori ilmiah serta pelaksanaan proyek-proyek teknologi yang kompleks. Namun demikian, penekanan berlebihan pada metode analitis Cartesian ini memunculkan dampak negatif dalam dunia ilmu, yakni, antara lain, sikap reduksionis yang percaya bahwa semua fenomena kompleks dapat dipahami [secara mekanik] dengan cara mereduksinya menjadi bagian-bagian unsur pokok.
Dalam kerangka pemikiran Descartes, seperti dikatakan Capra, setiap fenomena yang kompleks dapat dipecah-pecah secara analitis menjadi bagian-bagian kecil, dan dengan mengerti bagian-bagian tersebut maka keseluruhan fenomena tersebut dapat dimengerti. Alam semesta material termasuk di dalamnya organisme makhluk hidup (dan segala hal di luar pikiran subjek) merupakan sebuah mesin yang bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik, dan yang pada prinsipnya dapat dimengerti secara keseluruhan dengan cara menganalisis bagian-bagiannya yang terkecil. Kunci alam semesta, baginya, adalah struktur matematis, dan segala fenomena alam dapat dijelaskan dengan kejelasan gambaran matematika.
Dalam dualisme Cartesian, alam semesta material atau segala hal di luar subjek/pikiran, termasuk tubuh manusia, merupakan sebuah mesin raksasa yang bekerja menurut hukum-hukum matematis yang kuantitatif, dan karenanya dapat sepenuhnya dijelaskan, diramal dan dikontrol secara pasti berdasarkan hukum-hukum yang bersifat deterministik (niscaya).
Kerangka konseptual yang diciptakan Galileo dan Descartes—dunia sebagai sebuah mesin sempurna yang diatur oleh hukum-hukum matematis yang pasti—disempurnakan dengan gemilang oleh Isaac Newton. Sintesis besarnya yang dikenal sebagai Mekanika Newtonian merupakan prestasi yang menyempurnakan ilmu pengetahuan abad ke-17, dan menandai puncak revolusi ilmiah (yang telah dimulai sejak Copernicus).
Materialisme
Dalam pandangan mekanistik Newtonian, menurut Capra, semua fenomena fisik direduksi menjadi gerak partikel benda yang disebabkan oleh pengaruh kekuatan tarik-menarik gravitasi. Pengaruh kekuatan pada partikel atau objek benda lain ini digambarkan secara matematis oleh persamaan gerak Newton.
Newton berpandangan bahwa alam semesta ini terdiri dari tiga realitas: pertama, materi-materi yang secara permanen tersusun dari partikel-partikel atom; kedua dan ketiga, ruang dan waktu mutlak yang bersifat abadi, bahkan sekalipun seluruh isi alam semesta ini mengalami kemusnahan. Semua fenomena perubahan yang terjadi di dalamnya dipahami sebagai dampak dari perpisahan, penggabungan, dan pergerakan partikel-artikel atom yang menyusun materi-materi itu, dengan berbagai variasinya. Dan akhirnya, fenomena-fenomena dan kelangsungan kerja alam semesta ini, menurut Newton, terjadi melalui hukum-hukum fisika yang mengatur semua pergerakan materi-materi yang ada dalam alam semesta itu. Dalam sistem Newtonian seperti ini, para ilmuan diposisikan sebagai pengamat/penonton yang berada diluar system tersebut. (Greg Soetomo, ibid, 31)
Pendek kata, sistem Newtonian menggunakan cara-pandang materialisme sebagai metodologi ilmiahnya, sekalipun Newton sendiri bukanlah seorang materialis. Dalam sistem seperti itu, hanya materilah satu-satunya realitas yang diakui keberadaannya. Tidak ada realitas lain di sampingnya, termasuk kegiatan berpikir, keinginan, dan emosi. Hingga abad ke-19, materialisme memainkan peranan penting dalam mengarahkan kecenderungan imiah para ilmuan. (Ibid., 31)
Sistem Newton telah melahirkan para ilmuan seperti Faraday, Kelvin, Herschel—dan banyak ilmuan lainnya—yang berhasil menciptakan berbagai penemuan dalam bidang listrik, panas, dan cahaya. Keberhasilan system Newton yang gilang gemilang, terutama dalam bidang fisika dan kimia, ini mengilhami para ilmuan di bidang lainnya untuk menerapkan sistem Newtonian dalam bidang keilmuannya (biologi, psikologi, dst.). (Ibid, 31) Seorang biolog, Thomas H. Huxley, untuk menyatakan bahwa "pikiran yang sedang saya ungkapkan, dan pikiran Anda tentangnya, adalah perwujudan dari perubahan-perubahan molecular" (dalam Ibid., 32). Psikolog Sigmun Freud berpandangan bahwa sebagaimana mesin memiliki daya penggerak berupa uap air, listrik atau proses pembakaran, demikian juga manusia memiliki daya penggerak berupa insting-insting dan hasrat-hasrat. Pikiran dianggap tidak mampu memainkan peran pengatur dalam diri manusia, sebab dalam pandangan dunia yang serba materialilstik ia dipandang sebagai produk materi. Bagi Feud, isting-insting dan hasrat-hasrat (seksual) sebagai sumber pengatur kekuatan utama manusia merupakan satu-satunya kunci untuk memahamai psikologi manusia (Ibid., 35)
Saintisme
Meski bukan kesuluruhan, model pandangan dunia yang lahir dari para tokoh-tokoh Revolusi ilmiah, seperti Newton, Descartes, Galelio, Bacon, dan para penerusnya hingga abad ke-19, adalah materialisme dan scienisme yang membatasi rasionalisme—tolak ukur intelibilitas—pada terma-terma materi dan ilmu pengetahuan alam (sains). (bdk. Greg, 43) Filsafat a la Descartes dan pandangan dunia yang ditarik darinya, menurut Capra, melahirkan kepercayaan pada kepastian pengetahuan ilmiah. Paham “saintisme” yang telah menjadi kebudayaan Barat merupakan cerminan dari kepercayaan itu. Banyak orang dalam masyarakat kita, baik ilmuan maupun orang awam, yang merasa yakin bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya metode yang sahih dalam memahami alam semesta.
Pergerseran cara pandang kualitatif kepada cara pandang kuantitatif
Demikianlah gambaran umum pandangan sains modern, yang kelahirannya didahului dan didampingi oleh rumusan dualisme ruh-materi yang berkembang sejak abad ke-17 melalui filsafat Rene Descartes. Pembagian alam semesta kepada dua wilayah terpisah dan independen—yakni alam pikiran dan materi—oleh dualisme Cartesian, memungkinkan para ilmuan untuk memperlakukan alam materi sebagai benda mati yang benar-benar terpisah dari diri mereka, serta melihat dunia material sebagai sejumlah besar objek-objek berbeda yang terhimpun dalam sebuah mesin raksasa.
Namun, bersamaan dengan terjadinya Revolusi Ilmiah, menurut Moris Berman, tumbuh sebuah cara pandang baru dalam mempersepsi realitas, yaitu berupa perubahan penekanan perhatian sains dari hal-hal kualitatif ke kuantitatif, dari persoalan “mengapa” ke “bagaimana”. Dalam kasus teori gravitasi yang menjadi tumpuan pandangan kosmologisnya, Isaac Newton, misalnya, berhasil memberikan rumusan matematisnya yang eksak; ia tahu bagaimana mengukur, mengobservasinya, dan membuat prediksi-prediksi berdasarkan konsep teori tersebut. Akan tetapi ia tidak menjelaskan apa gravitasi itu, kecuali hanya menyatakan efek-efeknya; ia tidak mengetahui mengapa dan apa penyebab gravitasi tersebut. Bahkan, persoalan-persoalan terakhir ini nampaknya tidak relevan bagi etos dan tema utama Revolusi Ilmiah. Prediksi atau ramalan ilmiah tentu saja diarahkan pada upaya pengontrolan atas fenomena-fenomena alam agar sesuai dengan kepentingan yang dikehendaki. Tujuan sains modern lebih terarah pada: ukur, ramal dan kontrol. Semuanya diarahkan kepada penguasaan dan dominasi subjek manusia terhadap alam.
Perubahan cara pandang Revolusi Ilmiah di atas merupakan gambaran perubahan penjelasan ilmiah dari paradigma kausalitas Aristotelian ke paradigma Newtonian. Holmes Rolston menyebut hal ini sebagai “Revolusi dalam Penjelasan.” ‘Seluruh pekerjaan menjelaskan’ dalam Paradigma Newtonian dibatasi hanya melalui dua dari empat kategori sebab (kausa) Aristotelian, yakni sebab materil dan efisien. Sementara dua sebab lainnya, sebab formal dan final, ditolak karena dianggap lebih cenderung pada makna dan karenanya diserahlan pada bidang agama dan bukan pada fakta yang termasuk pada bidang sains. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, menurut Mulyadi Kartanegara, sains hanya menerima sebab efisien saja, dan cenderung menghapuskan sebab formal dan final, alih-alih menyerahkan keduanya pada wilayah agama. Dalam logika ilmiah, istilah “sebab” atau prinsip kausalitas dihapus dan direduksi menjadi hukum-hukum fisis, karena perinsip tersebut pada dasarnya dianggap sebagai suatu prinsif tentang hukum-hukum wujud yang berbau metafisis.
Desakralisasi dan Skularisme
Menurut Sir John Eccles, selama abad ke-17, 18, dan 19 telah berlangsung suatu perkembangan bertahap dalam bidang Fisika dan Kosmologi yang semakin materialistik dalam cara pandangnya terhadap alam semesta. Arus utama pandangan dunia saat itu ditandai dengan runtuhnya secara perlahan kepercayaan religius dan nilai-nilai rohani yang dimiliki manusia. (Greg Soetomo, Ibid., 24)
Pada abad ke-17-19, pandangan ilmiah Descartes dan Newton bersama-sama dengan sistem nilai Pencerahan (rasionalisme) dan teknologi Revolusi Indrustri yang menyertainya, menurut Sorokin, menandai bangkitnya periode kebudayaan indrawi, yang berpandangan bahwa materi adalah realitas ultim (terakhir), dan bahwa fenomena spiritual hanyalah suatu manifestasi dari materi. Sistem nilai ini berpendapat bahwa semua nilai etika bersifat relatif dan bahwa persepsi indrawi merupakan satu-satunya sumber pengetahuan dan kebenaran. (Fritjof Capra, h.18-20)
Cara pandang yang serba matematis terhadap alam menuntut para ilmuan membatasi wilayah kajian mereka pada sifat-sifat esensial objek material—bentuk, bilangan, dan gerakan—yang dapat diukur dan dikuantifikasi. Sementara sifat-sifat lainnya seperti warna, suara, rasa atau bau dipandang sebagai semata-mata proyeksi subjektif yang tidak boleh dimasukan ke dalam ranah ilmu.
Menurut psikiater R. D. Laing, seperti dikutip Capra, bersamaan dengan tersingkirkannya fenomena-fenomena yang dipandang sebagai proyeksi subjektif (seperti rasa, bau, suara) dari peneltian ilmiah, tersingkirkan pulalah perasaan estetik dan etik, nilai, kualitas, bentuk; semua perasaan, motif, kehendak, jiwa, kesadaran, dan roh.
Reifikasi Segala sesuatu
Konsekuensi dari modus pemikiran dan sains modern yang menuntut distingsi pengamat dan yang diamati ini, menurut Berman, “adalah perasaan reifikasi total: segala sesuatu adalah objek, asing, bukan-saya; dan akhirnya saya juga adalah objek. Dunia ini bukanlah buatan saya, kosmos tidak peduli dengan saya, dan saya tidak merasakan apapun terhadapnya. Apa yang saya rasakan sesungguhnya adalah penyakit dalam jiwa.”
Cara pandang seperti ini melahirkan model kesadaran ekologi-dangkal yang melihat manusia sebagai sumber nilai yang berada di atas atau diluar alam, sementara alam hanya dipandang dalam batas-batas nilai kegunaan atau instrumental yang bisa dimanfaatkan untuk meme-nuhi kebutuhannya. Rata-rata orang modern, seperti dikatakan Danah Zohar, mengalami dirinya sebagai semata-mata di dalam dunia, bukan sebagai bagian dari dunia yang di dalamnya tercakup orang lain, bakal teman, sebagai-mana juga institusi-institusi, masyarakat, benda (object), alam dan lingkungan. Menurut dikotomi Newtonian pengamat/yang-diamati, kita adalah pengamat netral yang semata-mata melihat dunianya, menimbang dan mengukur serta mengadakan eksperimen atasnya. Dikotomi tersebut membekali kita dengan kesadaran bahwa kita berada di sini hanya untuk melakukan sebisa kita apa yang terbaik bagi kita sendiri, tanpa memberitahu bagimana, dan kepada siapa, kita bertanggungjawab. Cara pandang duni modern seperti inilah tampaknya yang disinyalir telah menyebabkan lahirnya berbagai krisis yang multi dimensional itu.
Agama sebagai Etika Rasioanal
Pencerahan Eropa mengembangkan sebuah program pemikiran baru yang berfokus pada kepercayaan bahwa manusia mesti bebas menjalankan rasionya sendiri tanpa kekangan belenggu-belenggu takhayul relijius dan tirani politik. Pencerahan ini, yang dimulai lebih-kurang sejak Revolusi Agung di Inggris (1688) dan berakhir dengan Revolusi Peracis (1789), terkadang dirujuk sebagai Abad Rasio atau Pemujaan Rasio (Cult of Reason), dan Sapere Aude! “Beranilah menggunakan intelegensimu sendiri” merupakan slogan yang menjadi mottonya.
Dalam hal ini, rasionalisme yang dirintis Descartes dan empirisisme atau sensasionalisme yang rintis John Lock memberikan pengaruh yang signifikan terhadap suasana Pencerahan Eropa tersebut. Pada masa Pencerahan ini, pandangan dan kehidupan keberagamaan masyarakat saat itu nampaknya juga tidak luput dari pengaruh semangat program pemikiran barunya itu.
Setelah Descartes, urusan keimanan tidak lagi hanya cukup disandarkan pada wahyu, mukjizat, atau otoritas greja; alih-alih ia harus disesuaikan dengan rambu-rambu rasionalitas dan pengalaman-pengalaman sehari-hari. Singkatnya, Cartesianisme memberi para intelektual Eropa di kemudian hari suatu landasan rasional untuk menggali fondasi-fondasi rasional kepercayaan (relijius) serta menyingkirkan apa saja—betapaun sucinya—yang tidak dapat dijustifikasi secara kritis dalam proses penggalian tersebut.
Empirisisme John Locke melengkapi rasionalisme Cartesian. Dalam kaca-mata empirisisme, pengetahuan khalayak—termasuk pernyataan iman dan keper-cayaan-kepercayaan supranatural yang dihormati sepanjang zaman—tidak bisa disebut sebagai pengetahuan sebab pernyataan-pernyataan dan kepercayaan-ke-percayaan tersebut jauh melampaui batas-batas pengalaman indrawi. John Locke, sebagaimana para pemikir abad ke-18 yang terisnpirasi olehnya, secara terbuka mengecam pernyataan-pernyataan khayal serta spekulasi-spekulasi irasional para pendahulu skolastik dan para teolog sezamannya. Menurutnya, praktek iman mesti didisiplinkan melalui common sense (pikiran sehat) dan skeptisisme sehat terha-dap ekses-ekses emosionalisme rilijius, keriaan ritual, serta dogmatisme teologis. Baginya juga, proposisi-proposisi teologis yang bertentangan dengan rasio tidak layak untuk dipercayai, kendatipun pihak greja menegaskan kelayakannya.
Gagasan Locke bahwa ‘keimanan yang bertentangan dengan rasionalitas adalah kosong’ menjadi inspirasi bagi penganut deisme untuk mengkonsepsi ulang Kristen sebagai ‘agama natural’ yang harus bersih dari tambahan-tambahan takhayul dan doktrinal yang memburamkan esensi rasional murni. Para deis dan filosof mengemukakan keutamaan nilai keimanan relijius dalam term-term moral. Ini barangkali sesuai dengan konsepsi deisme yang memahami Tuhan sebagai penentu-hukum (lawgiver) kosmik yang menjamin rasionalitas dan koherensi alam semesta, dimana sistem keteraturan fisik dan moral saling berkaitan. Dalam kerangka deistik ini, pemahaman yang benar tentang kebenaran esensi relijiusitas tidak terletak pada bantuan wahyu sepernatural, melainkan pada praktek etika sederhana mencintai Tuhan di atas segalanya serta mencintai sesama. Koherensi rasional ajaran-ajaran etika dalam suatu agama merupakan satu-satunya ukuran yang dapat dipercaya untuk menilai kelayakan agama bersangkutan. Dan, rasio, dalam keadaan naturalnya, secara sempurna dianggap selalu telah transparan terhadap kebenaran mengenai eksistensi dan karakter Tuhan serta sifat-dasar kewajiban etis manusia.
Kebanyakan teoritisi Pencerahan—dari para deis di Inggris dan Amerika hingga ke Voltaire, Mendelssohn, Kant dan bahkan mungkin David Hume—beranggapan bahwa rasio manusia berpartisipasi dalam keteraturan kosmik yang memberikan kejelasan kepada setiap peneliti rasional tentang sifat dasar kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab-tanggung jawab praktis seseorang. Menjalankan kewajiban seseorang dalam hubungannya dengan sesama merupakan basis relijius dalam Pencerahan. Untuk berprilaku secara moral demi kebaikan moral itu sendiri, seseorang harus menjalankan kewajibannya seolah-olah itu merupakan titah Tuhan. Pengakuan (rasional) atas kewajiban-kewajiban kita sebagai titah ilahi merupakan esensi spiritualitas yang otentik
Secara sepintas dapat kita katakan bahwa model spiritualitas dalam konsepsi Pence-rahan dicirikan oleh ruang-lingkupnya yang dipahami dalam term-term moralitas atau etis, tepatnya etika rasional, dan tidak selalu dikaitkan dengan wahyu supernatural atau otoritas greja kecuali sejauh bersesuaian dengan prinsip-prinsip rasionalitas. Inilah barangkali model spiritualitas yang, seperti dikatakan Mark I. Wallace, menjadi sumber historis bagi perkembagan wacana spiritualitas kontemporer. Memang, sebagaimana wacana spiritualitas yang berkembang pada masa Pencerahan Eropa, wacana spiritualitas yang berkembang pada masa kontemporer Barat pun tidak selalu dikaitkan dengan praktek keberagamaan.

II KRITIK POSTMODERNISME ATAS MODERNISME
Dari uraian kita mengenai "wajah modernisme", terdapat beberapa konsep kunci yang dipahami secara khas dalam pandangan-dunia modernisme, tetapi kemudian melahirkan kritisisme yang mengatasnamakan diri sebagai postmodernisme, dengan segala pengertian yang problematik. Setidaknya, ada konsep utama: kebenaran, bahasa, rasionalitas, manusia, dan spiritualitas.
Di sini, kita akan membatasi uraian tentang postmodernisme pada salah satu dari dua kecenderungannya, yakni postmodernisme konstruktif yang bergerak ke arah dialog intersubjektif dalam kerangka hermetika. Kecenderungan ini antara lain ditokohi oleh figur-figur dari tradisi filosofis hermeneutika seperti Heidegger, Gadamer, Ricoeur, Mary Hesse, Rorty, Apel; dan oleh tokoh-tokoh yang berkecenderungan serupa dari tradisi fisika berhaluan holistik, F. Capra, J. Lovelock, Gary Zukav, I. Prigogine, dari tradisi fisika yang berwawasan holistik. (I. Bambang Sugiharto, S, 16, 30-31, 37).
A. Kritik Dari Jalur Filsafat
1. Kebenaran
Dalam pandangan dunia modern, sains dipercaya dapat mencapai pengetahuan tentang realitas/dunia yang mutlak kebenarannya, dan semua klaim kebenaran lainnya harus tunduk pada pengujian pentahuan saintifik. Klaim kebenaran saintifik seperti ini telah melahirkan kritik Postmodernisme yang berpandangan bahwa pengetahuan yang mutlak kualitas kebenarannya tidak dapat kita capai sebab kita tidak pernah tahu secara pasti apa keyataan asli yang coba kita ketahui itu. Kenyataan asli selalu bersifat lebih dibandingkan pengetahu-an yang dapat kita peroleh tentangnya. Pengetahuan kita tentang suatu kenyataan (realitas) hanya mengungkapkan beberapa aspek saja darinya; selalu ada aspek-aspek lainnya yang menunggu penggalian lebih jauh dan lebih jauh lagi, sampai tak berhingga barangkali.
Situasi dan kondisi realitas kehidupan dunia (kita) senantiasa berubah-berubah, sehingga menuntut adanya perubahan atau perkembangan pengetahuan kita tentang realitas itu. Dengan demikian, pengetahuan kita pada suatu waktu tertentu dan tempat tertentu akan selalu terbatas, sesuai dengan situasi dan kondisi realitas dunia pada waktu itu dan di tempat itu. Dan, demikian seterusnya pada waktu dan tempat lailnnya. Ringkas kata, kita tidak mungkin mengklaim suatu pengetahuan sebagai benar mutlak dan universal, berlaku untuk selamanya dan di manapun, karena pengetahuan manusia pada kenyataannya senantiasa mengalami perkembangan dan bersifat berubah-rubah, di samping juga karena adanya kemungkinan keberbedaan pengetahuan yang kita mililki.
2. Bahasa
Bahasa merupakan sarana kita dalam merumuskan pengetahuan tentang realitas/keyataan. Pengetahuan yang dapat kita peroleh tentang realitas adalah pengetahuan sejauh yang terumuskan dalam wadah bahasa. Penangkapan kita atas realitas dibatasi oleh kerangka bahasa yang kita gunakan. Jadi, apa yang kita ketahui tentang suatu fenomena realitas itu selalu merupakan tafsiran kita tentang fonomena tersebut. Karenanya, pengetahuan kita tentang realitas (persoalan atau fenomena realitas tertentu) tidak identik dengan realitas aslinya yang hampir tidak bisa kita ketahui secara pasti itu. Inilah alasan lain tentang keterbatasan pengetahuan kita. Ini adalah fakta penting dalam pemikiran postmodernisme. Dunia manusia adalah dunia bahasa. Boleh dikatakan barangkali bahwa bahasa (atau teks dalam pengertian seluas-luasnya, dimana segala hal yang kita temukan bisa dipandang sebagai teks) merupakan basis ontologis bagi filsafat postmodenisme, sebagaimana materi merupakan basis ontologis bagi filsafat modernisme.
Berkenaan dengan masalah bahasa, satu hal penting yang ditekankan Postmodernisme adalah bahwa ada banyak jenis bahasa yang mewadahi atau mengemas pengetahuan manusia tentang realitas. Kita memahami berbagai hal dengan cara menerjemahkannya ke dalam kerangka bahasa dan kosa kata kita, dan tentu saja ada banyak jenis bahasa. Berbagai kamus bahasa yang kita kenal sesungguhnya adalah tafsiran tingkat pertama. Sebuah kamus tidak hanya menunjukkan kosa-kata berserta pengertian yang dikandungnya, tetapi juga secara implisit suatu cara-pandang atau pola-pikir tertentu tentang dunia, kehidupan, dsb. Itulah sebabnya kita menemukan ada "kamus filsafat", "kamus teologi", "kamus biologi", dan kamus-kamus disiplin keilmuan lainnya, di samping tentu saja kamus-kamus bahasa. Ini berarti bahwa ada banyak pola pikir dan pemahaman manusia tentang realitas, baik yang saling melengkapi atau boleh jadi saling bertentangan satu sama lainnya.
Struktur gramatika (tata-cara pemakaian bahasa) dan pengertian kosa-kata suatu bahasa menciptakan di dalam diri kita suatu bentuk pola-pikir (pola-pemahaman, sudut-pandang, perspektif) tertentu tentang realitas. Dengan kata lain, sebuah bahasa—dengan struktur gramatika dan kosa kata-kosa katanya—ikut menentukan "logika" dan cara-pandang tertentu kita dalam memahami kehidupan dan diri kita sendiri. Bagi sebagian posmodernis, kita terpenjara dalam dunia bahasa dan tak bisa keluar. Namun, sebagian lainnya berpandangan bahwa bahasa jusru merupakan sarana yang dimiliki kita untuk terus menerus mengatasi segala keterbatasan (bahasawi)nya. Artinya, bahasa yang serba terbatas itu justru memungkinakan kita melihat hal yang lebih besar. Bagi para potmodernis, di sini juga secara implisit terdapat alasan tentang tidak-dimungkinkannya klaim kebenaran universal oleh suatu "sudut-pandang bahasa" terentu.
3. Rasionalitas
Pengetahuan kita tentang suatu realitas (seperti suatu gejala alam) nampaknya tidak lain dari pemahaman kita mengenai hubungan sebab-akibat antara realitas/gejala tersebut dengan realitas/gejala lainnya. Melalui pemahaman inilah, kita dapat secara logis mengetahui dan mengerti suatu gejala yang terjadi di alam. Dengan kata lain, "logika" atau kelogisan atau kerasionalan (kemasuk-akalan) yang diperoleh dari pemahaman tentang huhungan sebab-akibat antar gejala alam inilah yang memungkinkan kita memiliki pengetahuan tentang suatu gejala/realitas/kenyataan. Ini barangkali dapat kita pahami, sebab logikalah, atau rasiolah, yang menjadi lokus bersemayamnya pengetahuan kita. Dan tentu saja, kelogisan atau kerasionalan ("logika" atau "rasionalitas" suatu gejala) merupakan prasyarat bagi terjadinya pengetahuan itu (tentang gejala tersebut).
Nah, jika "logika" atau "rasionalitas" berarti pengertian (pemahaman) kita tentang hubungan sebab-akibat antara berbagai gejala, maka Postmodernisme melihat ada banyak kemungkinan "logika" / "rasionalitas". Sebagai lokus pengetahuan, rasio atau logika (akal) kita dapat mejai lokus bagi beragam jenis "logika" dan "rasionalitas". Dalam menjelaskan gejala penyakit, misalnya, kita bisa mengunakan logika Akupungtur, logika Yoga, logika Prana, logika Mistik, atau logika pengobatan common sense (yang bisa terima semua orang berdasarkan pemahaman dan pengalaman bersama) yang bentuk canggihnya diklaim oleh logika Medis ilmiah. Jamu-jamuan juga tidak mesti lebih rendah daripada obat-obatan Medis.
Oleh karena itu, alam pikiran postmodern tidak menerima kecenderungan ideologis ("logikologis") suatu bentuk "logika" atau "rasionalitas" tertentu yang hendak menganggap diri paling benar dan menganggap salah bentuk-bentuk "logika" lainnya. Ini terjadi dalam dunia modern, dimana rasionalitas ilmiah berani memutlakkan dirinya sebagai yang paling benar karena menganggap diri mampu menjelaskan hubungan sebab-akibat berbagai gejala alam dengan tingkat kepastian yang tinggi. Dalam bidang pengobatan, misalnya, logika Medis ilmiah cenderung menjadi sangat ideologis dan sempat menganggap dirinya paling "objektif" dan paling "netral" (tanpa intervensi dugaan atau kepentingan subjektif atau ideologis) dalam mendiagnosa gejala penyakit. Nah, pretensi "objektivias" dan "netralitas" rasionalita ilmiah semacam ini lantas dibongkar dan dipersoalakan postmodernisme.
Postmodernisme melihat bahwa berbagai klaim tentang kebenaran "universal" (Metanarasi) seringkali merupakan imperialisme terselubung dan tak adil terhadap berbagai jenis pengetahuan lokal. Misalnya, ketika "logika" atau pola-pikir ilmiah menghegemoni rasionalitas kita, banyak tradisi-tradisi setempat (lokal) yang hidup dalam sebuah masyakat menjadi terpinggirkan semata-mata karena tidak bisa dipahami "logika" tersebut, atau dianggap sebagai semata-mata khurafat, bid'ah, atau takhayul, atau mitos yang tidak berarti.
Dari sini tampak, bahwa alih-alih mengupayakan suatu klaim kebenaran "rasionalitas" tunggal tertentu sebagaimana yang dilakukan modernisme, postmodernisme justru lebih tertarik untuk membuka lebar-lebar kemungkinan berbagai klaim kebenaran "rasionalitas". Alih-alih tertarik untuk mengupayakan suatu model atau cara berkir tunggal tertentu, postmodernisme justru mengizinkan hidupnya berbagai kemungkinan model atau cara berkir yang beragam.
Pada titik ini, para postmodenis terbagi setidaknya pada dua arah kecenderungan: skeptif dan afirmatif. Para postmodernis skeptif berpandangaan bahwa kita tidak akan pernah lagi memiliki (membuat) konsensus suatu pandangan-dunia universal yang benar bagi semua pihak. Bagi para postmodernis ini, semua gaya hidup, agama, pandangan-dunia adalah sama valid, dan satu-satunya dosa adalah mengkritik pandangan-pandangan dan pilihan-pilihan moral orang lain yang tak pernah bisa dihilangkan.. Sementara itu, para posmodernis afirmatif berpandangan bahwa universalitas kebenaran sebuah pandangan-dunia (bangunan pengetahuan) dapat diakui sejauh ia dihasilkan dari proses dialogis dan kesepakatan.yang adil, dengan tetap menghargai secara layak berbagai pandangan-dunia dan pengetahuan yang beragam.
4. Manusia
Cara pandang dunia modern yang menempatkan manusia sebagai subjek, sebagai pusat segala pemikiran dan aktivatas, sering dituding kaum postmodernis sebagai bersifat "ego-logis", yakni menganggap ego sebagai pusat segala. Humanisme, Liberalisme, Eksistensialisme, dsb, merupakan ungkapan-ungkapan cara pandan modern tentang manusia sebagai subjek itu. Bagi kaum postmodernis, kita sebagai indvidu tak pernah sungguh-sungguh merupakan "subjek" penentu atau produser, melainkan lebih merupakan produk dari beragai sistem dan struktur, struktur kebudayaan, struktur bahasa, struktur agama, struktur pengetahuan, struktur kekuasaan politik, struktur ekonomi, dsb. Dan sekarang, kita ini terutama adalah produk struktur ekonomi kapitalisme. Namun begitu, kaum postmodernis juga tidak menerima pandangan bahwa manusia sebagai individu/subjek yang bebas hanyalah ilusi, sebab manusia juga tidak sama seklali menjadi robot. Dalam banyak hal kita masih bisa mengambil jarak dari struktur-struktur itu, bisa melakukan kritik mendasar terhadapnya seperti yang dilakukan oleh para filsuf postmodern itu sendiri, masih pula bisa melakukan berbagai pilihan. Dan kini, ada tendensi kuat, dalam wacana maupun dalam gelagat budaya, untuk lebih memahami diri dari sudut kaitannya dengan alam sekeliling, dengan manusia lain, dan dengan misteri energi yang lebih besar (Tuhan). Ini adalah kecenderungan yang dewasa ini disebut sebagai kecernderungan "eko-logis". Dan ini adalah hal positif yang penting juga dari kecenderungan postmodern.
5. Spiritualitas
Dunia modern pernah mengritik agama dengan sangat keras. Agama dianggap hanya sebagai ilusi kekanakan-kanakan dan gejala sakit jiwa (Freud), candu di kalangan masyarakat miskin (Marx), tahapan pemahaman yang belum matang tentang realitas (Hegel, Comte), kebutuhan masyarakat untuk mempertahankan tatanan masyarakat dan nilai ideal saja (Durkheim, Feurbach), moralitas yang melegitimasi ketakberdayaan (Nietzsche), dst, dst.
Namun demikian, agama ternyata tidak pernah hilang. Bahkan kini konon bangkit lagi. Namun, yang bangkita lebih aspek "spiritualitas" ketimbang agama dalam pengertian institusi-institusi; "religiusitas" ketimbang "religi". Secara umum, muncul kesadaran bahwa inti kehidupan sebenarnya memang adalah "roh", namun roh itu jauh lebih luas ketimbang yang dibayangkan agama-agama. Dalam bahasa masa kini, Roh adalah energi, intelegensi kosmik, self, kepekaan atas makna hidup (SQ), kuantum, dsb., dsb. Segala bentuk yang material adalah manifestasi saja dari "roh" macam itu.
Hal-hal semacam ini, bila tidak dimengerti dengan cukup baik, memang terasa ganjil bagi agama-agama. Namun, menurut Bambang Sugiharto, bila dipahami lebih mendalam sebetulnya tidaklah demikian bertentangan juga dengan intuisi yang pernah ditangkap agama-agama. Seringkali peristilahannya saja bebeda dan cakupan pengertiannya lebih radikal. Di sisi lain, memang pandangan-pandangan baru yang kerap di sebut "New Age" ini memaksa agama-agama memikirkan ulang identitas dirinya, konsep-konsep dasar tentang wahyu, kitab-suci, institusi, para tokoh utamanya (nabi-nabi), dogma-dogmanya, dsb. Mungkin menggoncangkan, tapi dengan begitu, hal ini merupakan peluang juga bagi agama-agama untuk memurnikan dirinya, menyingkap aspek-aspek ilusinya, melihat sisi positif dan negatif prilakunya, melihat apa yang sesungguhnya penting dan tidak penting, dsb.
B. Kritik Dari Jalur Sains (Fisika Kuantum)
Pembicaraan tentang kritik postmodernisme atas modernisme dari jalur sains dapat kita mulai dengan fenomena kebangkitan spiritualitas. Sebagaimana terlihat dari kritik dari jalur filsafat, kritik atas modernisme dari sudut pandang sain juga nampaknya ingin memperlihkan tema-tema kunci utama seputar, "keterbatasan pengetahuan manusia", "tidak-mungkinnya klaim kebenaran unversal", "pentingnya upaya dialog dalam pengayaan pandangan".
Perbincangan tentang spiritualitas dalam dunia kontemporer akhir-akhir ini kerap dihubungakan dengan wawasan baru yang disumbangkan oleh penemuan sains abab ke-20 serta pandangan-pandangan dunia Timur yang, menurut Capra, merupakan latar-belakang filosofis temuan-temuan sains tersebut. Wawasan tersebut adalah bahwa "keseluruhan dapat lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya," dalam arti bahwa keseluruhan tidak sekedar terdiri dari jumlah kuantitatif bagian-bagiannya, tetapi juga kulaitas, perspektik, dimensionalitas yang tidak dimiliki bagian-bagiannya.
Wawasan ini terdapat dalam apa yang disebut sebagai cara-pandang holistik atau sistemik, yang lahir sebagai implikasi filosofis dari temuan-temuan di bidang Fisika Kuantum abad ke-20 itu. Cara-pandang holistik ini tampil menggantikan cara-pandang reduksinistik sebelumnya yang lahir sebagai implikasi filosofis dari revolusi saintifik abad ke-15 hingga menjelang abad ke-20. Cara-pandang reduksionistik, yang akar-akarnya dapat dilacak dalam pemikiran filosofis-ilmiah Descartes, berpandangan bahwa setiap fenomena yang kompleks dapat dipecah-pecah secara analitis menjadi bagian-bagian kecil, dan dengan mengerti bagian-bagian tersebut maka keseluruhan fenomena tersebut dapat dimengerti. Bagi Descartes, alam semesta material, termasuk di dalamnya organisme-organisme hidup, adalah bagaikan sebuah mesin yang pada prinsipnya dapat dimengerti secara keseluruhan dengan cara menganalisa bagian-bagian terkecilnya.
Nah, cara-pandang holistik membalik asumsi filosofis cara-pandang reduksionistik berkenaan hubungan antara bagian-bagian dan keseluruhan ini. Menurutnya, sifat bagian-bagian tidak dapat dimengerti kecuali dalam konteks keseluruhan yang lebih besar. Dalam pendekatan sistem, sifat-sifat bagian hanya dapat dimengerti dari pengaturan keseluruhan. Berbeda dengan pendekatan reduksionistik, pemikiran sistemik/holistik tidak berfokus pada balok-balok (bagian-bagian) dasar bangunan (semesta) melainkan lebih pada prinsip-prinsip dasar organis, [yang memandang setiap bagian dalam suatu system berkaitan baik dengan satu sama lainnya maupun dengan keseluruhannya]. Oleh karenya, Pemikiran sistem bersifat kontekstual, dimana sesuatu ditempatkan ke dalam konteks keseluruhan yang lebih besar. Ini berbeda dengan pemikiran analisis yang memecah-mecah sesuatu tersebut demi untuk memahaminya.
Cara-pandang holistik seperti ini tidak berarti bahwa ia telah mengetahui sistem (alam semesta) secara keseluruhan dan lalu mampu memahami secara kontekstual bagian-bagiannya (gejala-gejala dalam alam, apakah itu berkaitan dengan diri kita ataupun benda-benda di luar diri kita); juga tidak berarti bahwa untuk mampu memahami suatu gejala alam (bagian-bagian sisitem), kita harus terlebih dahulu mengetahui keseluruhan alam semesta (keseluruhan sistem itu). Alih-alih, cara-pandang itu justru didasarkan pada asumsi bahwa kita tidak dapat mengetahui secara pasti dan lengkap tiap-tiap gejala itu, sebuah asumsi yang sejalan dengan dasar-dasar saintifik Fisika Kuantum yang melahirkannya, yakni teori ketidak-pastian atau probabilitas. Ini berkebalikan dengan asumsi cara-pandang reduksio-nistik yang merasa yakin bahwa ia dapat mengetahui secara pasti setiap gejala alam melalui penemuan hukum sebab-akibatnya, yang anggapnya bersifat pasti dan tak-berubah.
Cara pandang fisika klasik (Cartesian-Newtonian) memang telah lama membantu kita dalam menelaah diri sendiri dan alam semesta secara detil. Setiap gejala kehidupan yang terjadi di alam dicari sebab dan keterkaitannya dengan gejala lainnya. Banyak persoalan manusia dan kehidupannya dipecahkan karena diketahui sebabnya. Model pendekatan fisika Newton telah berjasa memunculkan banyak peralatan teknologi yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Banyak temuan-temuan baik dalam bidang fisika, kimia, biologi, kedokteran, ekonomi, bahkan psikologi didasarkan pada model pendekatan fisika klasik, yang rasionalistik, serba-terukur dan mekanistik tersebut. Bahkan, manusia dapat banyak memprediksi apa yang akan terjadi setelah melihat beberapa gejala sebelumnya. Orang tahu bahwa esok hari akan hujan, karena melihat gajala sehari sebelumnya, yakni arah, kelembaman dan kekuatan angin; orang dapat memprediksi bahwa si sakit akan sembuh setelah diberi beberapa obat sesuati gejala yang dilihat orang dapat memprediksi bahwa akan terjadi perang dengan melihat keteganagan sebelumnya.
Namun demikian, sebagaimana telah banyak disinggung, prestasi-prestasi yang dicapai oleh model pendekatan fisika klasik ini juga harus dibayar dengan berbagai krisis yang disinyalir sebagai dampak dari model pendekatan itu juga. Di samping banyak hal yang terkorbankan oleh model pendekatan yang serba kuantitatif (serba terukur) dan rasionalistik ini—dan di sinilah barangkali sisi reduksionistik dari model pendekatan tersebut—banyak hal yang masih tetap tidak terhapami oleh model pendekatan ini, sekalipun dalam ranahnya sendiri.
Nah, model pendekatan fisika kuantum yang menerima asas relativitas, ketidak-pastian, namun holistik memungkinkan terbukanya wawasan (13) manusia secara lebih luas pada cara berpikir dan cara memikirkan alam semesta dan dirinya. Cara pandang holistik menyingkapkan pada pengertian kita adanya ketidak-jelasan di dalam kehidupan ini, sebab tidak semua hal yang ada dalam alam ini bersifat pasti. Pengertian seperti ini dapat membawa kita pada kesadaran akan keterbatasan diri kita. Dan, kesadaran ini pada gilirannya mampu membuat kita rendah hati dan bersedia untuk berkomunikasi dan bekerja-sama dengan orang lain, untuk membuka diri pada cara-cara pandang lain. Dengan begitu, semakin luaslah wawasan dan pandangan kita, dan semakin mudahlah persoalan-persoalan yang kita hadapi untuk dipecahkan.
Lebih jauh, model pendekatan holistik juga memperkenankan kita untuk membuka kesadaran pada sesuatu yang lebih tinggi di luar diri kita, bahkan pada Allah sang Pencipta yang tidak bisa dipahami dengan otak kita. Sedemikian rupa, sehingga kita memiliki dimesi yang lebih tinggi, dan bukan hanya sekedar robot rasional.
Kesadaran akan keterbatasan serta kerendahan hati kita juga akan mampu menghindarkan kita dari pemutlakan gagasan dan nilai yang kita pegang. Sebab, pemutlakan gagasan atau pandangan sendiri dan pengeklusian gagasan yang lain hanya akan menghambat pengayaannya sendiri, hanya akan memiskinakan dirinya sendiri. Karenanya, cara pandang holistik memungkinkan kita untuk saling berkomunikasi dan hidup bergandengan dengan orang-orang yang berbeda pandangan (atau bahkan keyakinan) dari kita. Sehingga, keserasian dan harmoni kehidupan bisa terwujud.

III KRITIK ATAS MODERNISME DAN POSTMODERNISME
Jika modernisme dikrtitik postmodernisme karena kecenderunganya untuk memutlakkan rasionalias-ilmiahnya sebagai satu-satu cara-pandang atas dunia, dan karena kecenderugannya untuk melahirkan krisis multi-dimensi, apakah kita dapat mengritik postmodernisme tanpa terjebak ke dalam modernisme? Bukankah ketika kita melakukan kritik atas postmodernisme berarti bahwa kita telah terjebak ke dalam modenisme, karena kita menganggap cara-pandang kita sebagai lebih atau paling unggul dibandingkan yang lainnya? Di sisi lain, andai kita melakukan kritik atas posmodernisme dengan tidak mengklaim bahwa cara-pandang kita adalah yang paling benar, bukankah aksi kritisisme kita merupakan bentuk semangat postmodernisme sendiri, yang mau menghargai segala kemungkinan cara-pandang??
Fenomena Sekularisasi dan Hilangnya Hirarki-Realitas
Lahirnya era modern di dunia Barat menandai perubahan besar menyangkut gagasan rasio. Jika pada masa sebelumnyarasio dipandang sebagai fakultas yang selalu siap berpartisipasi di dalam Intelek ilahi—sebagaimana tercermin pada para pemikir Neoplatonik dan Abad Pertengahan—dan karenanya sebagai “agen intelek” yang, bagaikan lampu yang tercahayai (illuminated) intelek aktif Tuhan, mampu membuat transfaran semua realitas, baik dunia kasat maupun dunia Pikiran Tuhan yang tak-kasat mata, maka pada era modern, terutama masa Pencerahan abad ke-17-19, gagasan tentang rasio dilepaskan dari gagasan rasio Platonik dan Kristen sebagai instrumen yang berpartisipasi di dalam Pikiran Tuhan tersebut. “Pencerahan telah melesakkan baji permanen di antara rasio klasik yang Patonik dan ‘partisipatoris’ dengan rasio modern yang empiris dan ‘autonom’.”
Istilah Pencerahan (enlightment) sendiri, menurut Attas, merujuk pada makna ‘kecukupan umur’ dimana manusia beranjak dari keadaan kanak-kanaknya kepada kedewasaan, yakni ketika rasio manusia modern tidak lagi bergantung pada bantuan dari luar dirinya seperti ketika masih kanak-kanak, melainkan sudah menjadi matang dan mengatur diri sendiri.
Para filososof Kristen abad ke-17 dan ke-18 masih mempercayai kemungkinan adanya sains metafisika yang bisa mereka upayakan untuk menginterpretasikan dan membuktikan realitas kebenaran-kebenaran spiritual—seperti Tuhan, jiwa dan keabadiannya, dunia secara keseluruhan. Namun, struktur metafisika mereka telah terembesi trend dan metode pemikiran/logika skular, setidaknya sejak abad ke-13. Oleh karenanya, meski para filosof Kristen berupaya membangun metafisika, mereka pada kenyataannya—karena elemen-elemen skular yang telah merembesi struktur metafisika sejak berabad-abad sebelumnya—justru membawa metafisika ke arah peleburan akhir, sebab dirusak dari dalam oleh unsur-unsur sekular yang dikandungnya itu.
Heidegger menggambarkan metafisika Barat sebagai suatu kegiatan (working) yang secara esklusif menggunakan rasio objektif dan otonom. Dalam hal ini, rasio dimaksudkan sebagai pikiran (mind) yang berfungsi secara logis dengan gagasan-gagasan yang jelas terpilah-pilah; rasio “objektif” berarti pemprioritaskan suatu cara berpikir objektif di atas cara berpikir lainnya, yang klaim-klaimnya harus diterima oleh orang-orang yang berpikiran normal dan terpelajar; sementara otonomi rasio berarti bahwa rasio tidak membutuhkan sokongan dari sumber di luar dirinya untuk menyampaikan putusan-putusannya yang mengikat.
Rumusan rasio seperti ini nampak tidak dapat dilepaskan dari Cogito Cartesian yang dalam suasana semangat revolusi ilmiah nampak dicanangkan untuk merumuskan metode-metode penafsiran baru yang dapat memungkinkan terbangunnya sebuah ilmu alam yang lengkap dan pasti, seperti halnya matematika. Dari sini, menurut Capra, dapat dipahami jika penulisan karya filosofisnya Discousr on Method—yang dipandang sebagai teks filsafat klasik besar—yang menyajikan metode penafsiran barunya itu sejatinya tidak ditujukan untuk mengajarkan filsafat melainkan pengantar ilmu. Karenanya dapat diduga bahwa kepastian ilmu yang dicita-citakan Descartes pada dasarnya adalah bersifat matematis. (Capra, 57-59)
Dalam tradisi filsafat Barat (modern)—sebagaimana dipahami Heidegger dan Vattimo—metafisika berarti “suatu sistem pemikiran filosofis yang selalu diarahkan oleh persoalan kebenaran logis dan penggunaan rasio,” bukan sejenis pemikiran supranatural dan mistis yang secara fundamental berkonotasi anti-rasional, sebagaimana dipahami awam. Nampaknya, dalam pengertian seperti inilah ketika dikatakan bahwa metafisika modern mendapat sumbangan besarnya dari konsepsi Descartes tentang ego (self), yang tentunya diturunkan dari dualismenya itu.
Karenanya, teknologi abad XX merupakan bentuk metafisika Barat yang secara historis paling maju, sebab ia merepresentasikan tingkat rasionalisasi yang paling ekstrim sejauh yang dihasilkan pemikiran Barat. Menurut Heidegger dan Vattimo, teknologi—dengan proyek globalnya untuk merangkai (link) semua entitas di atas planet ke dalam hubungan-hubungan kausalitas yang dapat diprediksi dan dikontrol, yakni untuk merasionalkan dunia—merupakan outcome logis dari proses yang sama yang melibatkan metafisika rasional. Esensi dunia teknologis (sains terapan), menurut Vattimo, tidak berbeda dari metafisika. Alih-alih, teknologi merupakan pemenuhan metafisika itu sendiri.
Metafisika [yang didasarkan pada rasio objektif ini] lalu tereduksi menjadi filsafat rasionalistik, dan filsafat ini secara perlahan-perlahan dijadikan sekadar tambahan bagi sains (ilmu pengetahuan alam) dan matematika. Sehingga, bagi beberapa sekolah modern, filsafat hanya berperan mengurai metode dan mengklasifikasi konsistensi logis sains. Fungsi kritis dan independen yang seharusnya dijalankan oleh akal vis-à-vis sains (sebagai kreasi akal) telah hilang. Sains sendiri, kata Nasr, lalu tampil sebagai hakim bagi nilai-nilai kemanusiaan dan sebagai kriteria kebenaran.
Dalam proses reduksi ini (dimana peran kritis dan independen dari filsafat telah ditundukkan pada maklumat sains modern), sering dilupakan bahwa revolusi sains di abad ke-17 itu sendiri didasarkan pada pandangan filosofsis tertentu. Bukanlah sains alam, tetapi sebuah sainslah, yang membuat beberapa asumsi tentang sifat realitas, waktu, ruang, materi, dst. Setelah asumsi ini dibuat dan di atasnya muncul sebuah sains, asumsi tersebut dengan nyaman diilupakan dan hasil dari sains tersebut dijadikan sebagai faktor penentu tentang sifat sejati realitas.
Menurut Hustom Smith, apa yang didentifikasi modernitas sebagai metafisika adalah sejenis metafisika yang telah direduksi menjadi sekadar kosmologi, yakni kajian tentang semesta fisik—atau dunia alamiah sebagaimana yang dipandang sains—dan karenanya merupakan ranah sains. Padahal, kata Smith, metafisika merupakan kajian yang berurusan dengan segala yang ada, atau pemahaman tentang keseluruhan segala sesuatu termasuk kemungkinan adanya dunia lain selain yang ditangani sains modern. Karenanya, ketika pandangan-dunia modern melihat alam semesta fisik sebagai segalanya, maka metafisika yang ia bicarakan tidak lain dari kosmologi itu sendiri. Metafisika modernisme seperti ini disebut naturalisme.
Keterfokusan metode ilmiah pada hal-hal material-kuantitatif menyebabkan tersingkirnya realitas nonmaterial dan bahkan (ketika posisinya menguat) ternapikannya realitas tersebut. Sains secara prinsipil telah menyingkirkan transendensi yang, padahal, merupakan hal utama dalam pandangan metafisika tradisional/agama.
Menurut Huston Smith, Gambaran Besar modernitas adalah materialisme, yang hanya mempercayai materi sebagai satu-satunya realitas yang ada, atau (dalam versinya yang lebih mungkin) naturalisme filosofis (h. 19) yang menekankan kebergantungan total pengalaman subjektif seperti pikiran dan perasaan—hal yang diakuinya berbeda dari materi dan tidak dapat direduksi padanya—pada materi. Bagi naturalisme ini, tidak ada pikiran tanpa otak; tidak ada kehidupan tanpa organisme. (103) Naturalisme filosofis, menurut Ian G. Barbour, merupakan klaim bahwa tidak ada yang eksis diluar wilayah sains.
Muculnya Praktek-praktek Okultisme (Ilmu-ilmu Klenik)
Kegagalan untuk mengingatkan adanya hirarki eksistensi dan pengetahuan berdampak pada tereduksinya kosmologi menjadi sains-sains tertentu yang mengkaji benda-benda material. Bahkan kegagalan ini juga telah mengakibatkan munculnya kecenderungan manusia modern untuk mereduksi realitas yang lebih tinggi kepada realitas yang ada dibawahnya dan, sebaliknya, mengeluarkan realitas yang besar dari realitas lebih kecil yang dilingkupinya. Dengan hancurnya gagasan mengenai hirarki realitas, hilanglah hubungan antara tingkat-tingkat pengetahuan dan korespondensi antara berbagai tingkat realitas yang menjadi landasan sains-sains Abad Pertengahan, sehingga sains-sains [mengenai berbagai tingkat realitas] ini nampak sebagai takhayyul dan sesuatu yang asas atau basisnya dihancurkan atau dilupakan.
Pembatasan realitas kepada domain materi dan non-materi oleh dualisme Cartesian telah mengarahkan gerakan-gerakan keagamaan baru di Barat, terutama sekali Amerika, untuk secara keliru mempersamakan segala sesuatu yang non-material dengan yang spiritual dan agama. Dalam kondisi-kondisi tertentu, kekeliruan dalam menyamakan hal-hal yang non-material dengan yang spiritual dapat membuka jiwa (dimensi psikis) mereka pada pengaruh-pengaruh paling rendah yang dianggapnya sebagai spiritual.
Ketika sains memperlihatkan kekurangan-kekurangannya, muncul berbagai pihak menegaskan kembali pandangan tentang hal-hal yang bersifat spiritual. Namun sebenarnya, sebagin besar kekurangan-kekurangan itu sering kali diisi dengan sisa-sisa kejiwaan yang paling negatif dan praktek-praktek okultisme (ilmu-ilmu klenik) yang setelah terpotong dari rahmat spiritualitas yang hidup memberikan pengaruh yang paling buruk dan jauh lebih berbahaya dibanding materialisme. Tidaklah kebetulan jika di kalangan spiritualis yang paling semu, banyak sinteis sains dan agama yang kemudian menjadi sebuah tatanan spiritual baru, seolah manusia dapat menciptakan sendiri sebuah tangga ke langit, atau menggunakan istilah Kristen, seolah manusia dapat bersatu dengan alam Kristus pada alam Kristus sendirilah yang telah menjadi manusia (Ibid., Antara Tuhan, Manusia, h. 51)
Apa yang dimaksud Nasr sebagai tatanan spiritual baru tampaknya tidak lain dari apa yang bisa kita sebut sebagai spiritualitas sekular, yakni spiritualitas yang tidak lagi dikaitkan dengan akar-akar agamanya. Gerakan-gerakan spiritualitas sekular dan okultisme tampaknya memiliki momentum untuk tampil marak ke permukaan seiring dengan lahirnya era postmodernisme yang mengkritik dan menggantikan era modernisme. Ciri khas alam pikiran postmodenisme adalah asumsi bahwa kita tidak mungkin bisa membuat suatu acuan cara-pandang tertentu yang bersifat universal dan menjadi acuan semua orang dalam memahami dan menjalani realitas. Sehingga, dalam alam pikiran seperti itu, segala macam kemungkinan cara-pandang tentang dunia diberi kesempatan untuk dapat hidup.
Modernisme [dengan cara-pandangnya yang sangat rasionalistik-saintifiknya] cenderung membawa kita pada berbagai krisis, dan ini telah memunculkan suatu reaksi yang mengambil bentuk gerakan posmodernisme. Posmodernisme berupaya menunjukkan bahwa sains merupakan salah satu saja dari berbagai mode tafsir atas alam semesta. Dengan kata lain, posmodernisme bermaksud hendak menyederajatkan sains dengan model-model tafsir lainnya tentang alam semesta. (Huston Smith, 426)
Dengan nada kritik Huston Smith menilai bahwa langkah posmodernisme sudah benar ketika memulainya dengan mengkritik pandangan dunia yang terpecah-belah dari Pencerahan (modernitas), tetapi dari titik awal yang rasional itu posmodernis terperosok dalam argumen tak rasional bahwa segala pandangan-dunia (sering diejek sebagai narasi-narasi besar) pada prinsifnya adalah salah. (Huston Smith, h. 20)
Respons posmodern ini berdampak pada penolakan total atas pandangan-dunia manapun yang berpretensi menjadi acuan semua pihak. Ini tentu saja memupuk suburnya kecenderungan relativistik dan bahkan nihilistik. Sebuah sinopis dalam sebuah buku secara ringkas menggambarkan panorama posmodern ini: “. . . Posmodernisme, ruh pembimbing zaman kita, mengajarkan bahwa segala hal seperti rasio dan rasionalitas adalah bias-bias kultural, dan bahwa kebenaran itu—khususnya kebenaran Tuhan—tidak ada. Masyarakat yang meragukan kebenaran percaya bahwa semua gaya hidup, agama, pandangan-dunia adalah sama valid. Satu-satunya dosa adalah mengkritik pandangan-pandangan dan pilihan-pilihan moral orang lain . . .”
Bagi Huston Smith, tidak ada perbedaan antara postmodernisme dan modernisme dalam hal konsepsinya tentang dunia, yakni bahwa keduanya memandang dunia ini sebagai satu-satunya realitas yang real, sekalipun keduanya memiliki perbedaan dalam cara mendekatinya. Baik moderniseme maupun postmodernisme tidak mengakui adanya tingkat-tingkat atau hirarki realitas dan pengalaman lain yang meng-atasi realitas dunia ini beserta pengalaman tentangnya. Menurut Huston Smith, jika dilihat dari sudut-pandang metafisika tradsional, "tidak ada cara yang lebih jelas untuk menjelaskan modernisme dan posmodern-isme selain penegasan bahwa dunia keduanya hanyalah dunia ini saja." (HS, 280)
Inilah barangkali penjelasan mengapa postmodernise tidak melihat kemungkinan adanya suatu pandangan-dunia yang bisa menjadi acuan dan pemadu setiap cara-pandang manusia tentang dunia. Dalam model pemikiran sekularistik modernisme dan postmodernisme, rasionalisme merupakan satu-satunya sarana epistemologis dalam memahami dunia. Rasionalisme dapat tampil dengan mengambil bentuk yang beragam, seperti rasionalisme-saintifik, rasionalisme-dialogis, rasionalisme-holistik, atau bahkan rasionalisme-nililistik, dst. Kesemua bentuk rasionalisme ini dapat kita kategorikan sebagai rasionalisme sekular yang coba memotret relitas dunia satu-satunya ini. Karena ranah operasionalitasnya yang terbatas pada wilayah realitas dan pengalaman dunia ini, rasionalisme sekular tentu saja tidak mampu memahami berbagai gejala alam atau bentuk kehidupan dalam kaitannya dengan realitas lain yang lebih tinggi dan dalam, katakalah alam jiwa, alam ruh, atau bahkan alam pikiran Tuhan.
Dengan demikian, kalaupun postmodernisme mampu melakukan kritisisme, maka kritisismenya akan berikisar pada persoalan-persoalan menyangkut kehidupan fisikis atau, paling-banter, psiko-fisik manusia semata. Postmoderniseme akan sangat kritis terhadap cara-pandan dunia yang bisa menimbulkan krisis ekologis (fisikis) dan krisis-makana hidup (psikis), misalnya, seperti yang dilakukannya terhadap cara-pandang modernisme. Tetapi di sisi lain, ia tidak dapat melakukan kritik terhadap bentuk-bentuk kehidupan—seperti gaya hidup tertentu atau praktek-praktek okultisme, misalnya—yang tidak memperlihatkan permasalahan yang terlilhat secara empiris, sekalipun dikecam oleh cara-pandang agama otentik yang memandannya berbahaya bagi dimensi spiritualitas diri manusia. Inilah barangkali segi postmodernisme yang tidak bisa diterima oleh cara-pandang metafisika tradisional terdapat dalam agama-agama dan yang rumusan-rumusan konseptualnya tentang dunia tercermin dalam arus pemikiran dan gerakan yang disebut perenialisme atau tradisionalisme. Arus pemikiran ini antara lain ditokoh oleh Rene Guenon, Henri Corbin, Frithjof schuon, Titus Burckhardt, Seyyed Hossein Nasr, Martin Link, William C. Chittick, dsb.
Mengatasi Krisis Modern
Dualisme Cartesian, menyumbangkan peranan sangat besar dalam membentuk konsepsi yang keliru dan terpotong tentang manusia sebagai makhluk yang hanya terdiri dari tubuh dan pikiran. Ini tentunya berbeda dengan konsepsi tradisional yang memahami manusia sebagai tersusun tiga segi: tubuh, jiwa, dan ruh atau corpus, anima, dan spiritus sebagaimana terumuskan dalam doktrin Hermetisisme dan doktrin sapiental lainnya.
Dalam kerangka konsep realitas yang telah tereduksi pada satu level objektif material dan satu level realitas non-material, di satu sisi, serta konsep manusia yang secara paralel juga telah tereduksi pada tubuh dan pikiran ini, di sisi lain, kita barangkali dapat menduga-duga mengapa tolok-ukur kualitas intelegensi spiritual, sebagaimana kini ramai dibicarakan, dilihat dari 'pelayanan terhadap pusat diri yang tidak dapat terealisasi lebih jauh selain sebatas proses kesinambungan dan pengintegrasian pengalaman-pengalaman hidup empiris; pusat-diri—yang disimbolkan sebagai Diri dalam skema diri di dunia Timur—dikonsepsi hanya sebagai sebagai ‘hasil’ dari proses psikologis. Padahal kata Frithjof Schuon, pengetahuan tentang akar-akar dan sumber eksistensi (pusat diri) bukanlah jenis pengetahuan yang dapat dicapai melalui rasionasi, operasi diskursif, ataupun pengalaman empiris.
Dalam bahasa al-Attas, pereduksian manusia dari sifat-dasar transenden-talnya (ruh) ini merupakan dampak dari pembumian atau terestrialisasi manusia demi menekankan sisi kemanusiaan dan wujud fisiknya, serta pengetahuan sekular, kekuatan, kebebasannya. Ini mengantarkan manusia pada penuhanan atas dirinya, serta pada ketergantungannya pada upaya-upaya rasionalnya dalam menelusuri asal-usul dan nasib akhir dirinya.
Menurut Yasien Muhamed, dengan mengutip Rene Guenon, pereduksian sifat-dasar transendental manusia demi untuk menekankan sisi humanitas murni dan fisiknya ini sebagai bentuk “humanisme” atau “individualisme” yang didefinisikan sebagai “penolakan terhadap setiap prinsip yang lebih unggul dari individualitas.” Menurut Guenon, sebagaimna dikutip Yasien, penerimaan doktrin sekular humanisme dalam dunia modern mengandung arti penolakan terhadap setiap wewenang yang lebih tinggi dari manusia itu sendiri, dan terhadap setiap kemampuan-mengetahui (‘aql [Intelek]) yang lebih tinggi dari penalaran diskursif individu. Akibatnya semangat modern dipaksa untuk menolak semua “wewenang spiritual,” yang berasal dari domain supra-manusia.
Menurut Nasr, percobaan-percobaan manusia Barat selama beberapa abab untuk memotong dunia terestrialnya dari realitas lain yang mengatasinya—sehingga ia menjadi makhluk terestrial murni—merupakan sebab jatuhnya spher terestrial ke dalam ketidak-teraturan dan chaos.
Sebagaimana diatakan E.F. Schumacher, munculnya berbagai krisis—kri-sis lingkungan, bahan bakar, ancaman kekurangan makanan, dan ancaman-anca-man lainnya yang menimbulkan kecemasan materialistik—tidak lepas dari ‘perco-baan manusia modern’ untuk menutup gerbang-gerbang Surga dan mencoba mengurung diri, dengan daya-kerja dan kecerdikannya yang besar, di bumi. Percobaan ini tergelar berkat rangsangan revolusi a la Descartes, yang dengan logika degil memisahkan manusia dari Tingkat-tingkat yang Lebih Tinggi. Percobaan ini adalah untuk hidup tanpa agama ini—yakni, hidup tanpa kerja sistematis, tanpa memelihara hubungan dengan, dan berkembang ke arah, Ting-kat-tingkat yang Lebih Tinggi ketimbang tingkat “kehidupan sehari-hari” dengan segala kesenangan dan kepahitannya, sensasi dan kepuasannya, kehalusan dan kekasarannya.
Karenanya tidak mungkin memperbaiki ketidak-teraturan dalam domain natural tanpa menghilangkan sebabnya, yang tidak lain dari pandangan bahwa domain eksistensi terestrial terlepas dari semua domain yang mengatasinya. Pertimbangan ekologis sekarang ini mem-ang dapat mengatasi sebagian rintangan yang ditimbulkan oleh kajian-kajian yang terpisah-pisah dan terpenggal-penggal atas alam, akan tetapi ia tidak dapat memecahkan problem-problem yang lebih dalam yang melibatkan manusia sendiri, sebab, tepatnya, manusialah—manusia yang telah kehilangan konsepsi yang utuh tentang dirinya—yang telah menggang-gu keseimbangan alam melalui faktor-faktor yang bersifat-dasar non-biologis.
Menurut Nasr, prinsip kesalingterkaitan segala sesuatu—seperti ditekankan pandangan ekologis—memainkan peranan penting dalam sains-sains Timur. Ekistensi sains-sains alam tradisional secara jelas bertujuan untuk memperlihatkan kesatuan alam yang secara langsung berasal dari kesatuan Prinsip Ilahi (barangkali, realitas dasar dalam istilah Capra), sebagaimana dinyatakan oleh para guru gnosis Islam. Intuisi keesaan (oneness) akar-akar segala sesuatu, yang merefleksikan prinsip metafisika ‘kesatuan transenden Wujud,’ merupakan matriks sains-sains alam di dunia Timur.
Namun demikian, tradisi-tradisi besar dunia Timur seperti Cina, Jepang, Indian, dan Islam juga secara bersama-sama—meski tidak identik dalam detil-detilnya—memiliki prinsip fundamental yang dengannya mereka memandang sains alam berdasarkan prinsip-prinsip metafisika, atau dari sudut pandang lain, yang dengannya mereka mengkaji alam sebagai domain yang ‘termuat dan tercakup’ dalam dunia supra-indrawi yang jauh lebih besar darinya. Menurut landasan metafisika ini, “realitas tidak hanya terdiri dari satu-satunya level psiko-fisik dimana manusia biasa hidup melainkan dari beragam tingkat-tingkat keadaan (states) wujud yang menjulang (standing) secara hirarkis satu di atas lainnya. Masing-masing tingkat wujud memiliki realitas objektifnya sendiri, yang derajat realitas/keriilannya bergantung pada seberapa intens ia teriluminasi cahaya Wujud.”
Karenanya, menurut Nasr, kesadaran (ekologis) akan kesaling-terkaitan segala sesuatu dalam kesatuan kompleks akan menjadi lengkap apabila di dalamnya terliput juga kesadaran akan adanya level-level realitas psikologis dan spiritual serta Sumber yang meliputi segala yang ada. Tentu saja, adalah hal yang baik untuk menyadari bahwa objek-objek hidup dan tak-hidup serta semua komponen yang terdapat di dunia jasadiyah ini memiliki keterkaitan satu sama lainnya; namun begitu, relasi antara tingkat-tingkat keadaan wujud sebagai prinsip metafisika, dimana keadaan wujud yang lebih rendah tidak terlepas, dan memperoleh realitasnya, dari keadaan wujud di atasnya, tetap mesti diingat dan jangan pernah terabaikan dalam setiap langkahnya.
Bumi ini telah terpolusi akibat pemberontakkan manusia atas tatanan spiritual. Dan, solusi untuk memperbaiki situasi tersebut tidak bisa dilakukan secara sukses tanpa memberhentikan pemberontakan tersebut. [Kita harus kembali merengkuh tatanan spiritual itu,] sebab hanya sorotan cahaya tatanan ilahiahlah melalui kehadiran para penglihat (seer) dan kontemplatif—yang hidup dalam kerangka tradisi relijius kemanusiaan yang otentik—yang dapat memlihra harmoni dan keindahan alam dan yang dapat mempertahankan equilibrium kosmik. Jika kebenaran ini tidak dipahami, maka semua upaya untuk menata kembali kedamaian dengan alam akan berakhir dengan kegagalan, kendatipun upaya-upaya itu dapat berhasil secara parsial dalam mencegah tragedi yang terjadi di sana sini.
Disinilah barangkali letak kepentingan kita untuk kembali mempertimbangkan perpektif tradisi tentang hirarki kesadaran dan realitas dalam rangka turut serta memperlengkapi wacana spiritual yang kini, dalam dunia modern dan bahkan postmodern, dipandang sebagai faktor penting dalam upaya kita memulihkan berbagai krisis yang ditimbulkan cara-pandang modern.

Jika kita coba merumuskan perbedaan antara pandangan-dunia postmodernisme, modernisme, dan perenialisme/tradisionalisme dalam suatu skema, kita barangkali bisa melakukannya seperti berikut.

Cara-Pandang Paradigma Ontologi Epistemologika Aksiologi
Modernisme Positivisme Materialisme Rasionalisme-reduksionalistik Pragmatisme
Postmodernisme Indeterminisme Bahasa/Teks/ Tanda Hermeneutika/ Dekonstruksi Pluralisme dan Relativisme-Nihilistik
Perenialisme/
Tradisionalisme Metafisika Integral Hirarki-realitas Intelektualisme integral Keselarasan kosmik

seer di toong