Dewasa
ini, manusia banyak yang terhempas kepada jurang kenistaan dalam arus zaman,
banyak yang melupakan kodratnya, bahkan lupa akan Tuhannya. Sebagai manusia
biasa, pastinya ada Hijab yang
menghalangi kontak dengan Tuhan, dan Hijab
itu semakin tebal jika ternyata larangan-Nya lah yang kita laksanakan.
Diantara sekian banyak perkara yang menghalangi manusia dengan Tuhannya,
salahsatunya adalah kecintaan manusia kepada dunia (Hubbud dunya)
Kecintaan
manusia terhadap dunia pada akhirnya akan membawa manusia kepada krisis
spiritual. Banyak manusia modern di zaman ini yang mengagungkan nilai-nilai
material dan mengesampingkan nilai-nilai ruhani (spiritualitas) yang membuat
manusia itu sendiri menjadi tidak nyaman dan gelisah. Akibat dari banyaknya
hal-hal duniawi yang membuat waktu atau porsi manusia untuk urusan akhirat
menjadi sedikit.
Pada
dasarnya, semua harta di dunia ini adalah kepunyaan Allah Swt. Adapun harta
yang dimiliki merupakan titipan Allah yang harus dikelola dengan baik karena
suatu saat harta tersebut akan dimintai pertanggung jawabannya. Oleh karena
itu, manusia harus menyadari sepenuhnya bahwa harta bukanlah tujuan hidup yang
sebenarnya, melainkan sarana untuk menggapai keridhaan Allah Swt.
Suatu
hari, Rasulullah Saw. berjalan bersama para sahabatnya. Tiba-tiba mereka
melihat seorang pemuda yang sedang membelah kayu bakar. Melihat ini, para
sahabat berkata, “Celakalah pemuda tersebut, mengapa kekuatannya tidak
digunakannya untuk berjihad di jalan Allah?” Rasulullah Saw. bersabda, “Kalian
tidak boleh mengucapkan perkataan itu. Sesungguhnya, apabila ia bekerja untuk
menghindarkan diri dari mengemis, maka pekerjaanya dianggap jihad di jalan
Allah Swt. Dan, jika ia bekerja untuk mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan
orang tua atau keluarganya yang lemah, maka tindakannya ini juga termasuk
jihad. Namun, bila ia bekerja hanya untuk bermegah-megahan dan memperkaya diri,
maka ia berjihad di jalan setan.”[1]
Keseimbangan
antara dunia dan akhirat sangat diperhatikan dalam islam. Banyak kajian yang
membahas atau menerangkan tentang korelasi antara hubungan manusia dengan dunia
dan akhirat. Ketika islam memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dengan
dunia bukan berarti harus meninggalkannya, begitu juga saat islam
memperingatkan kita tentang keduniawian yang dapat menghalangi hubungan dengan
akhirat, bukan berarti kita harus meninggalkan dunia, tapi kita harus
menyeimbangkan diantara keduanya.
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù
9t?#uä ª!$#
u#¤$!$# notÅzFy$#
(
wur
[Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB
$u÷R9$#
(
`Å¡ômr&ur !$yJ2 z`|¡ômr& ª!$#
øs9Î) (
wur
Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# (
¨bÎ)
©!$#
w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
“ Dan carilah pada apa yang
Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.”(Al-Qashash:77)
Menurut
A. Qodry Azizi (alm.), ayat tersebut
memiliki kandungan makna yang sangat dalam dan luas cangkupannya. Ayat itu setidaknya
mencangkup beberapa makna. Pertama, Islam
sangat memperhatikan masalah yang terkait dengan kehidupan dunia. Bahkan, Islam
memerintahkan kita agar menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena
itu, kita dianjurkan menjadi kaya raya, sehingga kita bisa meningkatkan
kualitas ibadah yang berhubungan dengan Allah Swt. dan sesama manusia. Kedua, Islam tidak hanya mengajarkan
tentang keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Akan tetapi, Islam juga
menjelaskan tentang etika dalam meraih harta, seperti kita harus menjaga
hak-hak asasi orang lain, sebagai contohnya, kita tidak boleh serakah, zhalim,
serta merampas hak dan merugikan orang lain. Ketiga, kita tidak boleh membuat kerusakan di bumi saat mencari
nafkah. Misalnya, kita tidak diperkenankan menebang kayu secara sembarangan
ketika mencari kayu di hutan. Keempat, Allah
Swt. Menyuruh kita untuk berbuat baik kepada orang lain, sehingga upaya untuk
memperoleh harta hanya dibarengi dengan niat untuk memberikan manfaat kepada
orang lain yang membutuhkan.[2]
Islam diturunkan menurut pengikutnya sebagai rahmatan li al-alamiin (rahmat bagi alam semesta), diturunkan dalam
konteks zamannya untuk memecahkan problem kemasyarakatan pada masa
itu. Konteks dan latar belakang perjuangan Rasulullah saw. dalam
situasi dan kondisi arab Quraisy waktu itu. Pada masa sekarang harus
dipahami dalam konteks yang tepat, memasukkan konteks kekinian kemasa
diturunkan al-Qur'an, dan kembali lagi kemasa kini. Pemahaman ini akan
menjamin aktualisasi dan kemampuan Islam menjawab tantangan zaman sepanjang
sejarah.
Dalam
wacana keilmuan ajaran Islam dapat digolongkan ke dalam tiga bagian besar. Bagian
pertama, ajaran fiqh; ajaran yang menekankan hal–hal yang bersifat lahiriah dan
formalistik. Pada dimensi ini kebenaran diukur dengan penuh kepatuhan atau
kesesuaian terhadap aturan-aturan formal dan bersifat lahiriah. Bagian kedua,
ajaran kalam; ajaran yang menitikberatkan pada persoalan kekuasaan Tuhan dalam
kaitannya dengan perbuatan manusia.Dalam wacana ini, biasanya rasio demikian
dianggap penting. Sehingga tidak jarang kebenaran harus ditundukkan pada
kekuatan logika. Bagian ketiga, ajaran tasawwuf, ajaran yang menitikberatkan
hal-hal yang bersifat spiritual.Ukuran kebenaran pada dimensi ini adalah dzauq
(rasa) atau pengalaman batin.[3]
Klasifikasi
di atas, mirip dengan teori yang menyatakan bahwa ada tiga pendekatan dalam
memahami ajaran Islam, yaitu pendekatan bayani (tekstual), pendekatan burhani
(logika), pendekatan irfani (rasa). Dan dalam konteks pembahasan ini tasawwuf
masuk dalam kategori irfani. Secara wacana kesejarahan menurut Jalaludin Rahmat[4]
kelahiran tasawwuf muncul lebih awal dibanding Fiqh. Pandangan ini, didasarkan
pada kenyataan bahwa tokoh-tokoh tasawwuf seperti Hasan al-Bisri, Jafar
Ash-shiddiq, serta tokoh-tokoh sufi awal lainnya, mereka lebih dikenal sebagai
tokoh tasawwuf ketimbang sebagai tokoh fiqh. Imam Hanafi, Imam syafi’I dan Imam
Malik, mereka adalah tokoh-tokoh fiqh yang muncul setelah tokoh-tokoh tasawwuf.
Fakta ini merupakan bukti setelah lama tasawwuf eksis dan berkembang. Hanya
saja menurut Jalaludin Rahmat tasawwuf tidak dinamakan “tasawwuf” melainkan
zuhud.
Zuhud sebagai upaya pembentukan sikap terhadap dunia di masa modern seperti
ini. Untuk mengungkap hal
ini, maka harus melihat bagaimana sebenarnya masyarakat modern itu. Masyarakat
modern adalah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler. Hubungan antara
anggota masyarakat tidak lagi atas dasar atau prinsip tradisi atau
persaudaraan, tetapi pada prinsip fungsional pragmatis. Masyarakatnya merasa bebas dan
lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia yang mengedepankan
logika, ciri-cirinya yang lain adalah
penghilangan nilai sakral (budaya, tradisi terutama dalam
keagamaan) terhadap dunia,
menempatkan hidup manusia dalam bayangan sejarah, dan pengesampingan nilai-nilai atau norma-norma.[5]
Dalam kaitannya dengan problema masyarakat modern, maka secara praktis
tasawuf memiliki potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual,
zuhud mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal
Tuhannya. Tasawuf dapat memberi jawaban-jawaban terhadap kebutuhan
spiritual mereka akibat pendewaan mereka terhadap selain Tuhan, seperti materi
dan sebagainya.
Islam melalui zuhud inilah memberikan batasan terhadap keduniawian yang
bersifat sementara. Kehidupan ini
hanyalah sekedar sarana, bukan tujuan. Karena hakikatnya zuhud
itu bukan berarti meninggalkan dunia secara total, mereka menjadikan dunia
hanya sebatas genggaman tangannya dan tidak sampai memperbudak hatinya. Seorang zahid mengambil dunia atau materi secukupnya,
tidak terjerat cinta padanya sebagaimana sikap orang kafir yang digambarkan
Tuhan.
Telah banyak diakui bahwa manusia modern telah mengalami krisis spiritual.
Krisis spiritual ini barangkali terjadi sebagai akibat dari pengaruh
sekularisasi yang telah cukup lama menerpa jiwa-jiwa manusia modern. Pengaruh
pandangan dunia modern dalam berbagai bentuknya –naturalisme, materialisme,
kapitalisme- memiliki momentumnya yang berarti setelah sains modern, beserta
teknologi yang dibawanya, memutuskan untuk mengambil pandangan sekular sebagai
dasar filosofinya. Pengaruh sains yang besar dalam kehidupan modern, dengan
sengaja atau tidak, telah menyebarkan pandangan sekular tersebut sampai ke
lubuk jantung dan hati manusia modern.[6]
Terkait
dengan kerja keras (ijtihadi [7])
yang penulis paparkan di atas dan juga korelasinya dengan zuhud. Terdapat di Pondok
Pesantren Al – Ittifaq yang terletak di Kampung Ciburial Desa Alamendah
Kecamatan Rancabali Ciwidey. KH. Fuad Affandi sebagai sesepuh Pondok Pesantren
Al – Ittifaq, Mang Haji –begitu
Beliau biasa dipanggil-, menerapkan pola pengajaran berbeda dalam pengajarannya
dengan memasukan agrobisnis ke dalam ‘kurikulum’ pengajaran para santrinya.
Pondok Pesantren Al – Ittifaq yang memiliki santri Khalafi dengan kegiatan ngaji
dan sekolah, ada juga santri Salafi dengan
kegiatan ngaji dan bertani. Santri Salafi masuk pesantren dengan gratis,
pembelajaran yang bukan hanya berfokus kepada ngaji al-qur’an atau ngaji kitab-kitab
kuning, akan tetapi para santri juga diberi pembekalan keterampilan lewat
bertani bahkan sampai agrobisnis. Metode yang diterapkan Mang Haji tidak melulu di wilayah ngaji saja tapi juga memberikan pelajaran keterampilan bertani sampai agrobisnis, agar
supaya santri siap di masyarakat bukan hanya sebagai ustadz tapi juga sebagai
petani ataupun pebisnis.
[1] Badiatul Roziqin, Bahkan Para Sufi Pun Kaya Raya, Diva
Press: 2009, Hlm 24
[2] Ibid hlm. 39
[3]
Hamka, Tasawwuf:
Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan ke-20, Jakarta: Pustaka Panjimas,
2005, hlm. 45
[5] M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar:
2000, hlm. 77
[6] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Erlangga: 2006,
hlm. 51
[7] Dr. Nursamad Kamba mengatakan
dalam kuliah umum yang diselenggarakan Jurusan Tasawuf Psikoterapi berjudul
“Interrelasi Sufisme dan Neurosains” di Aula Fakultas Ushuluddin, pada Rabu 6
Oktober 2013, bahwasanya ‘ijtihadi ialah usaha memadukan yang
belum pernah disandingkan di bidang keilmuan khususnya ilmu keislaman yang jika
salah mendapat pahala satu dan jika bear mendapat pahala dua’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar