Rabu, 08 Januari 2014

Tasawuf Terapan (Zuhud)

Dewasa ini, manusia banyak yang terhempas kepada jurang kenistaan dalam arus zaman, banyak yang melupakan kodratnya, bahkan lupa akan Tuhannya. Sebagai manusia biasa, pastinya ada Hijab yang menghalangi kontak dengan Tuhan, dan Hijab itu semakin tebal jika ternyata larangan-Nya lah yang kita laksanakan. Diantara sekian banyak perkara yang menghalangi manusia dengan Tuhannya, salahsatunya adalah kecintaan manusia kepada dunia (Hubbud dunya)
Kecintaan manusia terhadap dunia pada akhirnya akan membawa manusia kepada krisis spiritual. Banyak manusia modern di zaman ini yang mengagungkan nilai-nilai material dan mengesampingkan nilai-nilai ruhani (spiritualitas) yang membuat manusia itu sendiri menjadi tidak nyaman dan gelisah. Akibat dari banyaknya hal-hal duniawi yang membuat waktu atau porsi manusia untuk urusan akhirat menjadi sedikit.
Pada dasarnya, semua harta di dunia ini adalah kepunyaan Allah Swt. Adapun harta yang dimiliki merupakan titipan Allah yang harus dikelola dengan baik karena suatu saat harta tersebut akan dimintai pertanggung jawabannya. Oleh karena itu, manusia harus menyadari sepenuhnya bahwa harta bukanlah tujuan hidup yang sebenarnya, melainkan sarana untuk menggapai keridhaan Allah Swt.
Suatu hari, Rasulullah Saw. berjalan bersama para sahabatnya. Tiba-tiba mereka melihat seorang pemuda yang sedang membelah kayu bakar. Melihat ini, para sahabat berkata, “Celakalah pemuda tersebut, mengapa kekuatannya tidak digunakannya untuk berjihad di jalan Allah?” Rasulullah Saw. bersabda, “Kalian tidak boleh mengucapkan perkataan itu. Sesungguhnya, apabila ia bekerja untuk menghindarkan diri dari mengemis, maka pekerjaanya dianggap jihad di jalan Allah Swt. Dan, jika ia bekerja untuk mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan orang tua atau keluarganya yang lemah, maka tindakannya ini juga termasuk jihad. Namun, bila ia bekerja hanya untuk bermegah-megahan dan memperkaya diri, maka ia berjihad di jalan setan.”[1]
Keseimbangan antara dunia dan akhirat sangat diperhatikan dalam islam. Banyak kajian yang membahas atau menerangkan tentang korelasi antara hubungan manusia dengan dunia dan akhirat. Ketika islam memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dengan dunia bukan berarti harus meninggalkannya, begitu juga saat islam memperingatkan kita tentang keduniawian yang dapat menghalangi hubungan dengan akhirat, bukan berarti kita harus meninggalkan dunia, tapi kita harus menyeimbangkan diantara keduanya.
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
“ Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(Al-Qashash:77)

Menurut A. Qodry Azizi (alm.),  ayat tersebut memiliki kandungan makna yang sangat dalam dan luas cangkupannya. Ayat itu setidaknya mencangkup beberapa makna. Pertama, Islam sangat memperhatikan masalah yang terkait dengan kehidupan dunia. Bahkan, Islam memerintahkan kita agar menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kita dianjurkan menjadi kaya raya, sehingga kita bisa meningkatkan kualitas ibadah yang berhubungan dengan Allah Swt. dan sesama manusia. Kedua, Islam tidak hanya mengajarkan tentang keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Akan tetapi, Islam juga menjelaskan tentang etika dalam meraih harta, seperti kita harus menjaga hak-hak asasi orang lain, sebagai contohnya, kita tidak boleh serakah, zhalim, serta merampas hak dan merugikan orang lain. Ketiga, kita tidak boleh membuat kerusakan di bumi saat mencari nafkah. Misalnya, kita tidak diperkenankan menebang kayu secara sembarangan ketika mencari kayu di hutan. Keempat, Allah Swt. Menyuruh kita untuk berbuat baik kepada orang lain, sehingga upaya untuk memperoleh harta hanya dibarengi dengan niat untuk memberikan manfaat kepada orang lain yang membutuhkan.[2]
Islam diturunkan menurut pengikutnya sebagai rahmatan li al-alamiin (rahmat bagi alam semesta), diturunkan dalam konteks zamannya untuk memecahkan problem kemasyarakatan pada masa itu. Konteks dan latar belakang perjuangan Rasulullah saw. dalam situasi dan kondisi arab Quraisy waktu itu. Pada masa sekarang harus dipahami dalam konteks yang tepat, memasukkan konteks kekinian kemasa diturunkan al-Qur'an, dan kembali lagi kemasa kini. Pemahaman ini akan menjamin aktualisasi dan kemampuan Islam menjawab tantangan zaman sepanjang sejarah.
Dalam wacana keilmuan ajaran Islam dapat digolongkan ke dalam tiga bagian besar. Bagian pertama, ajaran fiqh; ajaran yang menekankan hal–hal yang bersifat lahiriah dan formalistik. Pada dimensi ini kebenaran diukur dengan penuh kepatuhan atau kesesuaian terhadap aturan-aturan formal dan bersifat lahiriah. Bagian kedua, ajaran kalam; ajaran yang menitikberatkan pada persoalan kekuasaan Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia.Dalam wacana ini, biasanya rasio demikian dianggap penting. Sehingga tidak jarang kebenaran harus ditundukkan pada kekuatan logika. Bagian ketiga, ajaran tasawwuf, ajaran yang menitikberatkan hal-hal yang bersifat spiritual.Ukuran kebenaran pada dimensi ini adalah dzauq (rasa) atau pengalaman batin.[3]
Klasifikasi di atas, mirip dengan teori yang menyatakan bahwa ada tiga pendekatan dalam memahami ajaran Islam, yaitu pendekatan bayani (tekstual), pendekatan burhani (logika), pendekatan irfani (rasa). Dan dalam konteks pembahasan ini tasawwuf masuk dalam kategori irfani. Secara wacana kesejarahan menurut Jalaludin Rahmat[4] kelahiran tasawwuf muncul lebih awal dibanding Fiqh. Pandangan ini, didasarkan pada kenyataan bahwa tokoh-tokoh tasawwuf seperti Hasan al-Bisri, Jafar Ash-shiddiq, serta tokoh-tokoh sufi awal lainnya, mereka lebih dikenal sebagai tokoh tasawwuf ketimbang sebagai tokoh fiqh. Imam Hanafi, Imam syafi’I dan Imam Malik, mereka adalah tokoh-tokoh fiqh yang muncul setelah tokoh-tokoh tasawwuf. Fakta ini merupakan bukti setelah lama tasawwuf eksis dan berkembang. Hanya saja menurut Jalaludin Rahmat tasawwuf tidak dinamakan “tasawwuf” melainkan zuhud.
Zuhud sebagai upaya pembentukan sikap terhadap dunia di masa modern seperti ini. Untuk mengungkap hal ini, maka harus melihat bagaimana sebenarnya masyarakat modern itu. Masyarakat modern adalah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler. Hubungan antara anggota masyarakat tidak lagi atas dasar atau prinsip tradisi atau persaudaraan, tetapi pada prinsip fungsional pragmatis. Masyarakatnya merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia yang mengedepankan logika, ciri-cirinya yang lain adalah penghilangan nilai sakral (budaya, tradisi terutama dalam keagamaan) terhadap dunia, menempatkan hidup manusia dalam bayangan sejarah, dan pengesampingan nilai-nilai atau norma-norma.[5]
Dalam kaitannya dengan problema masyarakat modern, maka secara praktis tasawuf memiliki potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, zuhud mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf dapat memberi jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka terhadap selain Tuhan, seperti materi dan sebagainya.
Islam melalui zuhud inilah memberikan batasan terhadap keduniawian yang bersifat sementara.  Kehidupan ini hanyalah sekedar sarana, bukan tujuan. Karena hakikatnya zuhud itu bukan berarti meninggalkan dunia secara total, mereka menjadikan dunia hanya sebatas genggaman tangannya dan tidak sampai memperbudak hatinya. Seorang zahid mengambil dunia atau materi secukupnya, tidak terjerat cinta padanya sebagaimana sikap orang kafir yang digambarkan Tuhan.
Telah banyak diakui bahwa manusia modern telah mengalami krisis spiritual. Krisis spiritual ini barangkali terjadi sebagai akibat dari pengaruh sekularisasi yang telah cukup lama menerpa jiwa-jiwa manusia modern. Pengaruh pandangan dunia modern dalam berbagai bentuknya –naturalisme, materialisme, kapitalisme- memiliki momentumnya yang berarti setelah sains modern, beserta teknologi yang dibawanya, memutuskan untuk mengambil pandangan sekular sebagai dasar filosofinya. Pengaruh sains yang besar dalam kehidupan modern, dengan sengaja atau tidak, telah menyebarkan pandangan sekular tersebut sampai ke lubuk jantung dan hati manusia modern.[6]
Terkait dengan kerja keras (ijtihadi [7]) yang penulis paparkan di atas dan juga korelasinya dengan zuhud. Terdapat di Pondok Pesantren Al – Ittifaq yang terletak di Kampung Ciburial Desa Alamendah Kecamatan Rancabali Ciwidey. KH. Fuad Affandi sebagai sesepuh Pondok Pesantren Al – Ittifaq, Mang Haji –begitu Beliau biasa dipanggil-, menerapkan pola pengajaran berbeda dalam pengajarannya dengan memasukan agrobisnis ke dalam ‘kurikulum’ pengajaran para santrinya. Pondok Pesantren Al – Ittifaq yang memiliki santri Khalafi dengan kegiatan ngaji dan sekolah, ada juga santri Salafi dengan kegiatan ngaji dan bertani. Santri Salafi masuk pesantren dengan gratis, pembelajaran yang bukan hanya berfokus kepada ngaji al-qur’an atau ngaji kitab-kitab kuning, akan tetapi para santri juga diberi pembekalan keterampilan lewat bertani bahkan sampai agrobisnis. Metode yang diterapkan Mang Haji tidak melulu di wilayah ngaji saja tapi juga memberikan pelajaran  keterampilan bertani sampai agrobisnis, agar supaya santri siap di masyarakat bukan hanya sebagai ustadz tapi juga sebagai petani ataupun pebisnis.



[1] Badiatul Roziqin, Bahkan Para Sufi Pun Kaya Raya, Diva Press: 2009, Hlm 24
[2] Ibid hlm. 39
[3] Hamka, Tasawwuf: Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan ke-20, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005, hlm. 45
[4] Jalaluddin Rahmat, Tasawwuf dalam al-Qur’an dan Sunnah, Pustaka Hidayah, Bandung. 2000, hlm 25

[5] M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar: 2000, hlm. 77
[6] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Erlangga: 2006, hlm. 51
[7] Dr. Nursamad Kamba mengatakan dalam kuliah umum yang diselenggarakan Jurusan Tasawuf Psikoterapi berjudul “Interrelasi Sufisme dan Neurosains” di Aula Fakultas Ushuluddin, pada Rabu 6 Oktober 2013, bahwasanya  ‘ijtihadi ialah usaha memadukan yang belum pernah disandingkan di bidang keilmuan khususnya ilmu keislaman yang jika salah mendapat pahala satu dan jika bear mendapat pahala dua’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

seer di toong