Senin, 02 Januari 2012

renungan : sebuah pengalaman spiritual dari seorang tokoh sufi - Ibnu arabi

Nama Ibn ‘Arabi sudah menjadi hampir sinonim dengan doktrin wahdat al-wujud. Benar bahwa doktrin ini mempunyai peran sentral dalam metafisis Ibn ‘Arabi, tetapi agaknya pesan beliau bukan sekadar doktrin tersebut. Seluruh kehidupan Syaikh al-Akbar dan doktrin ajarannya ingin menyatakan bahwa esoterisme adalah Prinsip dan juga Jalan. Dengan kata lain, Prinsip Kebenaran (the Principle of the Truth) dan juga Jalan kepada Kebenaran (the Way to the Truth) adalah esoterisme. Satu-satunya tujuan Ibn ‘Arabi adalah untuk mengenal—dan malah untuk merealisasikan—Realitas.
Semasa remajanya, seperti remaja-remaja lain, ia juga punya waktu untuk bersenang-senang selain dari waktu belajarnya. Pada satu masa ketika ia lagi bersenang-senang di Sevilla, dia telah mendengar suara yang memanggilnya beliau, “Hai Muhamad, bukan untuk ini kamu diciptakan.” Ia menjadi gelisah dan penasaran dengan pengalaman ini. Dalam kegelisahan itu, ia melarikan diri dan menyendiri untuk beberapa hari di sebuah tempat pekuburan. Di situlah Ibn ‘Arabi mengalami tiga musyahadah yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan spiritual masa depannya. Dia telah bertemu Nabi Isa, Musa, dan Muhammad—yang telah memberi instruksi spiritual untuknya.
Pertemuan spiritual ini bisa dikatakan adalah titik permulaan perjalanan spiritual Ibn ‘Arabi muda. Sejak itu, ia mendapat banyak pengalaman spiritual seperti ini. Malah sepanjang hidupnya penuh dengan pengalaman mukasyafah dan musyahadah. Kehidupan Ibn ‘Arabi adalah satu kehidupan spiritual dan biografinya identik dengan spiritual dan mistis. Bahkan pertemuannya dengan para guru sufi di dalam sepanjang pengembaraan, kesemuanya adalah pertemuan yang terpusat pada spiritualitas.
Pertemuan spiritualnya dengan tiga nabi besar yang mewakili tradisi Ibrahimiyah, mempunyai arti implisit yang sangat fundamental dalam doktrin ‘irfan Ibn ‘Arabi. Tradisi Ibrahimiyah terpusat pada doktrin tauhid. Tauhid dalam perspektif Ibn ‘Arabi tidak lain dan tidak bukan adalah wahdat al-wujud. Doktrin ini adalah prinsip esoterisme dan mengejawantahkan doktrin tersebut adalah jalan esoterisme.
Doktrin ini akan menjadi “akar segala sesuatu” (“the root of all things”). Dan, secara lebih spesifik lagi ia akan mejadi akar metafisikanya. Ketika al-wujud adalah “the one and only Real”, yang lain semuanya akan menjadi relatif atau manifestasi bagi-Nya. Dan sebagai manifestasi, setiap detik seluruh ma siwa Allâh adalah “Dia dan tidak Dia”. Ini adalah apa yang Schuon sering istilahkan sebagai paradoks spiritual (“the spiritual paradox”).
Paradoks inilah yang telah diceritakan begitu indah sekali dalam pertemuan bersejarah antara Ibn ‘Arabi dengan hakim Sevilla, seorang faqih dan filosof yang terkenal yaitu Ibn Rusyd. Hampir semua yang menulis biografi Ibn ‘Arabi akan mengungkapkan pertemuan yang bersejarah ini.
Aku pernah menginap sehari di Kordoba, di rumah Abu al-Walid Ibn Rusyd. Dia telah menyatakan keinginannya untuk bertemu denganku, karena dia pernah dengar beberapa ilham yang aku dapatkan semasa berkhalwah. Dan dia merasa sangat tertarik berkenaan ilham itu. Akhirnya ayahku, salah seorang teman dekatnya, telah membawaku kepadanya dengan alasan ada urusan dagang, agar Ibn Rusyd mendapat kesempatan untuk berkenalan denganku.
Pada masa itu aku adalah seorang remaja tanpa jenggot dan cambang di wajahku. Ketika aku memasuki rumahnya, filosof itu pun menyambutku dengan penuh kemesraan dan keramahan, dan dia terus memelukku. Kemudian dia berkata kepadaku, “Iya.” Dan kelihatan sekali kegembiraan pada wajahnya karena aku paham apa yang dia maksudkan. Aku pula, yang tahu persis kenapa dia begitu gembira, menjawab “Tidak.” Ketika itu, Ibn Rusyd tiba-tiba mundur. Warna wajahnya berubah dan dia kelihatannya meragukan tentang apa yang telah aku katakan. Kemudian dia melontarkan satu pertanyaan, “Solusi apa yang telah kamu ketemui dari hasil kasyaf dan ilhammu?” Apakah ia sejajar dengan hasil pemikiran spekulatif?” Aku jawab, “Iya dan tidak. Di antara iya dan tidak ini, tidak ada arwah akan terbang jauh di atas materi dan leher-leher akan terpisah dari tubuh-tubuhnya.” Ibn Rusyd menjadi pucat, dan aku lihat dia menggeletar ketika dia membisik, “La hawla wa la quwwata illa billah” (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah). Ini adalah karena dia paham isyaratku.
Setelah itu, dia menanyakan kepada ayahku tentang diriku, supaya dapat membandingkan pendapatnya tentang aku dan ingin mengetahui apakah ia sama dengan pendapat ayahku, atau bertentangan dengan pendapatnya. Tidak ragu lagi Ibn Rusyd adalah seorang ahli pikir dan filsafat. Dia bersyukur kepada Tuhan karena dia telah bertemu dengan seorang yang telah memasuki khalwah, dalam keadaan jahil dan meninggalkannya sebagaimana yang aku lakukan. Dia berkata, “Ini adalah sesuatu yang aku sendiri telah membuktikan kemungkinannya tanpa pertemuan dengan orang yang telah mengalaminya. Subhanallah, aku hidup pada masa adanya ahli pengalaman ini, seorang yang bisa membuka kunci pintu-pintu-Nya. Subhanallah yang telah menganugerahkan aku pertemuan dengan salah seorang dari mereka dengan mataku sendiri.
Pertemuan ini mempunyai banyak arti implisit tentang pribadi spiritual Ibn ‘Arabi. Umur beliau pada waktu baru sekitar lima belas tahun, tetapi pengalaman spiritualnya tidak bisa ditandingi filsafat Ibn Rusyd.
Dalam pertemuan keduanya pada tempat yang sama Ibn ‘Arabi menceritakan:
Aku ingin bertemu dengan Ibn Rusyd sekali lagi. Rahmat Ilahi membuat dia tampak kepadaku dalam keadaan ekstase hingga di antara dirinya dan diriku ada tirai yang tipis. Aku melihatnya lewat tirai itu tanpa dia melihatku atau menyadari bahwa aku berada di sana. Sebenarnya dia terlalu tenggelam dalam tafakkurnya sehingga tidak sadar terhadapku. Kemudian aku berkata kepada diriku: “Tafakkurnya tidak akan mengarahkannya pada tempat aku berada sekarang.”
“Tirai tipis” ini adalah isyarat pada ketransendentalan (transcendentness) metafisika (baca: ‘irfân atau irfan) atas filsafat. Irfan bisa menembus tirai dan melihat filsafat, sementara filsafat masih buta terhadap irfan, namun ia hanya bisa menyerah secara filosofis di depan irfan.
Salah seorang perempuan sufi yang dihormati Ibn ‘Arabi adalah Fatimah binti Abi Mutsanna dari Asbella [Sevilla]. Ibn ‘Arabi menuturkan:
Aku bertemu dengannya dalam usia sembilan puluhan tahun. Dia hanya memohon makanan yang biasa didapatkan oleh orang-orang miskin. Sangat sedikit makanan yang dia makan. Aku tersipu ketika sempat melihat wajahnya yang anggun dengan kedua pipinya yang lembut kemerah-merahan padahal umurnya sudah sembilan puluhan. Dia terbiasa membaca Surah al-Fatihah. Dia berkata kepadaku, “Faidah al-Fatihah yang aku harapkan adalah untuk menyelesaikan segala urusan apa pun bentuknya.”
Rumah yang ditempatinya terbuat dari pelepah kurma. Dia berkata, “Aku tidak suka sembarang orang datang kepadaku selain si fulan.” Maksudnya aku.
Ketika ditanya apakah sebabnya begini, beliau menjawab, “Kalian semuanya datang dengan sebagian diri kalian, membiarkan sebagian lainnya sibuk dengan urusan lain, sementara Ibn ‘Arabi adalah satu penenang bagiku, karena dia datang dengan keseluruhan dirinya. Ketika dia berdiri, dia berdiri dengan keseluruhan dirinya, ketika dia duduk, dia duduk dengan keseluruhan dirinya, tidak membiarkan apa pun dari dirinya di tempat lain. Inilah yang harus dicapai dalam tarikat.” (Ibnu Arabi, 2003: 162-3)

3 komentar:

seer di toong